"Dari 22 buoy tsunami di perairan Indonesia, yang dibangun Indonesia (8 unit), Jerman (10 unit), Malaysia (1 unit) dan USA (2 unit) pada tahun 2008. Saat ini sudah tidak beroperasi sejak 2012," kata Sutopo dalam konferensi pers di Graha BNPB, Pramuka Raya, Jakarta Timur, Rabu (26/12).
Dijelaskan Sutopo, aksi vandalisme dan mahalnya biaya pemeliharaan menjadi salah satu penyebab mengapa banyak Buoy yang tak lagi beroperasi. Kondisi ini pun, akhirnya membuat deteksi dini tsunami sulit dilakukan.
"Buoy di lautan banyak yang dirusak oleh oknum. Sebagai misal buoy yang dipasang di Laut Banda (April 2009), namun pada September 2009 rusak dan hanyut ke utara Sulawesi," ungkapnya.
Sutopo memaparkan dari buoy tsunami yang masih aktif di peraian sekitar Indonesia, 5 di antaranya merupakan milik asing. Ia juga menyebut harga satu unit buoy sangat mahal, Sutopo menilai jika bisa memproduksi sendiri alat pendeteksi tersebut untuk mengamankan perairan Indonesia tentu biaya yang dibutuhkan jauh lebih kecil.
"Harga 1 unit buoy produk USA Rp7-8 miliar, sedangkan buatan Indonesia Rp4 milyar," kata Sutopo.
Memprediksi tsunami tanpa buoy
Tanpa kehadiran buoy sebagai alat pendeteksi, bukan berarti jadi penghalang untuk mencegah terjadinya bencana. Sebab dalam InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System) peringatan dini bencana tsunami tetap bisa berjalan.
"Tanpa buoy tsunami, peringatan dini tsunami (EWS) tetap berjalan karena peringatan dini tsunami berdasarkan pemodelan yang dibangkitkan dari jaringan seismik gempa yang terdeteksi," ungkap Sutopo.
Ditambahkan Sutopo, buoy tsunami sebetulnya berfungsi untuk mendeteksi dan memastikan tsunami benar terjadi di lautan. Ketika data itu terkonfirmasi maka BMKG akan langsung memberikan peringatan dini kepada masyarakat.
"2-5 menit setelah gempa InaTEWS/BMKG langsung memberikan peringatan dini secara luas kepada masyarakat sesuai alur peringatan dini tsunami. Sistem ini telah berjalan dengan baik," tutupnya.