Kasus ini dibuka kembali oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang telah membentuk tim ad hoc penyelidikan sejak tahun 2015 dan dilakukan perpanjangan.
"Komnas HAM telah mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyelidikan (SPDP) kepada Jaksa Agung selaku penyidik tertanggal 22 Maret 2016," tutur Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (15/1/2019).
Beka menjelaskan, kasus ini diawali dengan perburuan dan pembunuhan terhadap orang yang diduga melakukan santet atau praktik ilmu hitam. Hal ini dipicu oleh keresahan masyarakat terhadap isu tertentu pada beberapa wilayah di Jawa Timur.
"Sebelum terjadnya kekerasan dengan isu dukun santet, masyarakat terkondisikan dengan kekerasan dan penjarahan toko-toko yang sebelumnya berawal dan unjuk rasa untuk menurunkan harga karena kesultan ekonomi. Situasi ini membuat masyarakat sangat sensitif terhadap isu yang menyebar," jelas Beka.
Setelah itu, berkembang isu bahwa pembunuh dalam peristiwa ini adalah warga-warga sipil dan oknum asing yang disebut ninja. Dalam kejadian ini, setelah dilakukan pendataan korban.
"Hasilnya, korban bukan merupakan dukun santet atau orang yang memiliki kesaktian seperti yang dituduhkan, melainkan orang yang memiliki pengaruh khusus di masyarakat seperti pemuka agama," ucapnya.
Parahnya, Beka melihat ada kesan pelambatan penanganan dari para aparat, padahal telah ada koordinasi antar aparat di tingkat wilayah hingga ke tingkat pusat dan menghasilkan beberapa kebijakan.
"Adanya kesan pembiaran karena kami menemukan fakta bahwa aparat mengetahui situasi dan menerima laporan, tetapi terlambat mengambil tindakan atau tidak menindak secara efektif," tuturnya.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, Tim telah menyerahkan Laporan kepada Jaksa Agung RI sebagai Penyidik Pelanggaran HAM Berat untuk dilakukan penyidikan.
Selain itu, lanjut Beka, Komnas HAM merekomendasikan Presiden Jokowi untuk menyampaikan permintaan maaf kepada para korban atas peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Kami juga merekomendasikan presiden menetapkan secara khusus perencanaan program nasional pemulihan yang perwujudannya dapat terukur," tutur Beka.
"Kemudian, memerintahkan segenap kementerian maupun instansi pemerintah daerah untuk mengalokasikan kemampuan finansial, prosedur, dan administratif yang dimiliki untuk mendukung upaya-upaya pemulihan korban," tambahnya.