Anggota Dewan Pembina BPN La Ode Kamaluddin menjelaskan, konsep digital farming saat ini telah banyak dikembangkan di negara-negara maju. Katanya, persediaan stok cadangan pangan dapat meningkat dengan sistem ini.
"Modeling ini kalau kita kembangkan ke daerah-daerah di luar Jawa, sangat menguntungkan dan jumlah akan terlihat jauh lebih besar, dari 4,5 ton bisa menghasilkan 7 ton," katanya, dalam diskusi Rabu Biru dengan tema ‘Petani, Nelayan & Ekonomi Rakyat’, di Media Center Prabowo-Sandi, Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu (16/1/2019).
La Ode meyakini, konsep digital farming ini akan menarik minat generasi milenial di sektor agrikultur. Di mana, katanya, saat ini anak muda tidak tertarik dengan profesi petani sebagai profesi yang menjanjikan di masa depan.
"Kita harus memikirkan generasi milenial, digital farming dan fishering kita bisa swasembada pangan," ujarnya.
Menurut La Ode, dengan konsep digital farming ini, petani dapat mengukur hasil pertanian secara lebih terukur. Bahkan, dia menjelaskan, pengembangannya juga bisa melibatkan universitas dan akademisi yang memang fokus di sektor pertanian. Hal ini, katanya, impor dapat dikurangi dengan mudah.
"Dengan sistem digital farming, impor bisa dikurangi dengan mudah," tuturnya.
Sekadar informasi, menurut Kementerian Pertanian, potensi produksi beras akan terus meningkat ke depannya. Pada bulan Januari 2018 sebanyak 2.668.764 ton, Februari sebanyak 5.388.600 ton, Maret sebanyak 7.441.842 ton, dan April sebanyak 5.283.498 ton.
Padahal, kata La Ode, kebutuhan beras nasional per bulannya mencapai 9 juta ton. Kebutuhan beras ini, menurut La Ode, dapat dipenuhi dengan konsep digital farming yang pihaknya gagas.
"9 juta ton itu kecil kalau kita kembangkan dengan itu. Tidak ada bangsa yang bisa bertahan kalau pangannya berasal dari luar," tutupnya.