Jumlah Pemilih Banyak, Kenapa Calonnya Tunggal?

| 02 Jan 2018 20:57
Jumlah Pemilih Banyak, Kenapa Calonnya Tunggal?
Diskusi membahas pilkada, di Jakarta, Selasa (2/1/2018). (Gde/era.id)
Jakarta, era.id - Memasuki tahun politik pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2018, sejumlah fenomena mencuat ke permukaan. Salah satunya, fenomena calon tunggal dalam pertarungan elektoral lima tahunan tersebut.

Direktur Perludem Titi Anggraeni mengatakan sejak 2015, dari 269 daerah yang melangsungkan pilkada tiga di antaranya maju dengan calon tunggal. Kemudian pada 2017 tercatat ada sembilan daerah dengan calon tunggal, dari 101 daerah yang melangsungkan pilkada. Hal ini, kata Titi, menunjukkan besarnya anomali calon tunggal pada pilkada.

"Entah itu sebuah kesengajaan, atau memang fenomena yang muncul secara alamiah," ujar Titi, dalam sebuah diskusi membahas pilkada, di Jakarta, Selasa (2/1/2018).

Selain itu, fenomena lain memasuki kontestasi politik 2018 yakni jumlah calon tunggal semakin bertambah padahal daerahnya luas, dan jumlah pemilihnya banyak.

Di samping itu, calon tunggal pada pilkada semakin sering berelasi dengan kekuatan calon petahana. Bahkan, kata Titi, 90 persen calon petahana maju kembali pada pilkada. Menurut Titi, calon tunggal tidak bisa dijadikan ruang evaluasi bagi partai untuk menguji kekuatan dan strategi keamanan, melainkan hanya sebatas mengamankan suara.

Dikatakan Komisioner Bawaslu, Afifudin, prosedur pencalonan kepala daerah sudah diatur dalam undang-undang (UU), baik melalui jalur partai maupun independen. Tetapi anehnya, di sejumlah daerah malah mengalami krisis calon kepala daerah.

"Jadi kayak referendum, enggak ada pilihan lain. Kalau enggak setuju, berarti enggak milih calon tunggal itu," ujar Afifudin.

Beberapa temuan dari daerah dengan calon tunggal, secara faktual koalisi partai hanya terkonsentrasi pada satu calon, dan tidak ada calon dari jalur independen. Fenomena tersebut, tambah Afifudin, berdampak pada semakin minimnya pemilih. 

"Semakin sedikit pasangan calon, jadinya opsi pilihan jadi semakin kecil," lanjutnya.

Menurut Afifudin, keberadaan calon tunggul bukan tidak boleh, tetapi tidak ideal bagi iklim demokrasi pilkada. Afifudin berujar, bahwa ketentuan terhadap prosedur kotak kosong atau calon tunggal di pilkada memang belum ada. Regulasi peraturan terkait kampanye dan dana kampanye calon tunggal juga belom diatur.

Hal ini, berpotensi menyebabkan penganggaran dana kampanye sangat mungkin menjadi tidak tepat sasaran. Di sisi lain, munculnya calon tunggal kepala daerah ini akibat dinamika politik di daerah.

Fenomena ini, tambah Afifudin, bisa lahir karena calon yang terlalu kuat dan populer, atau koalisi partai yang tersentralisasi ke satu calon. Sehingga tidak ada calon kuat untuk maju lewat jalur independen.

Tapi, siapapun calonnya, kita harus berpartisipasi memberikan suara. Ingat, satu suara kita bernilai sama dan ikut menentukan figur yang terpilih.

Tags : pilkada 2018
Rekomendasi