Tim era.id mendatangi salah satu lahan tanah milik Prabowo di Aceh. Lokasi lahan itu berada di empat kabupaten yakni di kawasan Aceh Tengah, Bener Meriah, Bireuen hingga Aceh Utara. Lahan itu dikelola oleh PT Tusam Hutani Lestari (THL).
Di lahan PT THL itu sudah ditanami dengan pohon Pinus sejak 1993. Tampak pohon itu terpelihara dengan baik. Tak sedikit pekerja yang menyadap getah dari pohon Pinus untuk diolah oleh PT THL.
Lahan yang dikuasai Prabowo (dok Istimewa)
Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, Syahrial, mengatakan, Prabowo membeli lahan itu pada saat krisis moneter. PT THL sebelumnya merupakan perusahaan hasil patungan dengan pihak ketiga.
"Aktivitas di sana saat ini adalah mereka menyadap getah. Pinus yang ditanami dulu sudah besar itu yang mereka ambil hasilnya. Jadi di sana saat ini hanya ada aktivitas penyadapan getah," ungkap Syahial kepada wartawan, Rabu (20/2/2019).
Namun keterangan berbeda disampaikan oleh Direktur Eksekutif Wahana Lingkingan Hidup (Walhi), Muhammad Nur. Menurutnya lahan milik PT THL tidak terlalu produktif, bahkan izin pengolahan lahan itu akan berakhir pada 14 Mei 2035.
"Lokasi lahan PT THL memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tamanan Industri (IUPHHK-HTI), berdasarkan SK.556/KptsII/1997 dengan luas areal kerja 97.300 hektar. Izin pemanfaatan lahan itu akan berakhir pada tanggal 14 Mei 2035," ungkap Nur dalam keterangannya.
Baca Juga: Lahan yang Dikuasai Prabowo, Empat Kali Luas Singapura
Nur membeberkan, awalnya PT. THL berkewajiban menyediakan dan memasok bahan baku kayu kepada industri hasil hutan yakni PT. Kertas Kraft Aceh (KKA). Namun dalam 15 tahun terakhir, PT tersebut tidak aktif beroperasi pasca PT KKA gulung tikar.
Izin PT. THL kemudian diarahkan untuk memasok kebutuhan kayu lokal, namun tidak dilakukan. Menurut Nur, lahan milik Prabowo saat ini sebagian besar tidak digarap sehingga kerap terjadi pembalakan liar dan perambahan oleh warga.
"Setiap malam keluar kayu dari areal kerja PT. THL yang dilakukan oleh pelaku ilegal logging. Kondisi ini ibarat membuka kios dalam toko, kalaupun tidak dikelola seharusnya jangan diberi ruang untuk aktivitas illegal," jelas Nur.
Perusahaan itu sendiri sudah beberapa kali kena teguran dari Kesatuan Pengelola Hutan (KHP) Wilayah II. Hal ini karena mereka menelantarkan izin.
Berdasarkan data dirilis Walhi, pada tahun 2014, alokasi kayu untuk PT. THL sebesar 53.000 meter kubik (m3). Namun karena PT. THL tidak mampu meningkatkan kinerjanya kemudian pada tahun 2016 alokasi kayu diturunkan menjadi 35.000 m3 mendapatkan izin potong dari pemerintah.
"Dari jumlah alokasi tersebut, PT. THL hanya mampu memproduksi sekitar 700 m3," ujar Nur.