Mahasiswa Uji Materi DPTb ke MK, KPU Harap Prosesnya Cepat

| 01 Mar 2019 14:05
Mahasiswa Uji Materi DPTb ke MK, KPU Harap Prosesnya Cepat
Ketua KPU Arief Budiman (Diah/era.id)
Jakarta, era.id - Dua Mahasiswa Bogor bernama Joni Iskandar dan Roni Alfiansyah Ritonga mengajukan uji materi atau judicial review (JR) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.

Mereka merasa keberatan atas ketentuan pindah memilih atau pengaturan daftar pemilih tambahan (DPTb) yang termuat dalam Pasal 210 ayat (1) ayat (2), dan ayat (3), Pasal 344 ayat (2) dan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu ini. Mereka tidak bisa mengurus pindah memilih ke Kabupaten Bogor dan terancam tidak bisa menggunakan hak pilihnya pada Pemilu Tahun 2019.

Menanggapi, Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman mendukung adanya pengajuan JR tersebut, lembaga penyelenggara pemilu ini tak perlu lagi mengajukan uji materi yang sama.

"Kalau memang ada pihak lain yang sudah memasukkan, dan kami rasa pandangannya isinya sama dengan kami, maka kami tidak perlu memasukkan (permohonan JR) juga. Nah, untuk memperkuat soal legal standing, bisa saja KPU menjadi pihak terkaitnya," kata Arief di Kantor KPU RI, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Jumat (1/3/2019).

Arief mengakui, meski KPU memang pengendali proses pemilu, pihaknya sudah cukup menjadi pihak terkait yang nantinya akan dihadirkan di persidangan. Lagipula, Arief juga mengindari adanya tafsir-tafsir dari pihak lain kenapa KPU melakukan uji materi atas peraturan yang sudah mereka jalankan.

Lebih lanjut, Arief bilang ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam jalannya pengajuan JR ke MK ini. Pertama, waktu persiapan jelang hari pemungutan suara sudah mendesak. Kedua, volume pekerjaan KPU mendekati hari pencoblosan juga makin banyak.

"Maka, proses persidangannya juga dibutuhkan berlangsung dengan cepat. Karena, setelah diputuskan, KPU juga punya pekerjaan lain untuk menindaklanjuti dan menyediakan kebutuhan surat suara," tutur Arief.

Selain itu, lanjut dia, KPU juga masih harus mengupdate data, dan memetakan jumlah kebutuhan surat suara DPTb. Memang, Arief akui di tempat-tempat tertentu itu tidak mungkin diambilkan surat suara dari tempat lain atau mendistribusikan pemilih tersebut ke tempat lain.

"Misalnya orang-orang di lapas, kemudian, tempat-tempat pendidikan yang jumlah pemilihnya sangat besar dan tempat tinggal orang-orang yang sedang menempuh studi disitu jauh, mulai dari pondok pesantren, universitas, sekolah-sekolah seperti IPDN, tempat-tempat yang harus kita layani dengan baik," ungkapnya.

Akar masalah ini bermula dari pengakauan KPU yang merasa kesulitan menyediakan surat suara dari banyaknya pemilih pindah TPS di satu wilayah. Masalahnya, pencetakan surat suara sesuai aturan UU itu berbasis DPT ditambah 2 persen, sementara di beberapa titik ada pemilih DPTb dalam jumlah besar.

Rekomendasi