SBY Komplain Kampanye Prabowo Usung Politik Indentitas

| 07 Apr 2019 10:45
SBY Komplain Kampanye Prabowo Usung Politik Indentitas
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di Singapura (Foto: Istimewa)
Jakarta, era.id - Lautan massa pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memutihkan Stadion Gelora Bung Karno (GBK) sejak pagi tadi. Kampanye akbar itu dipantau Ketum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dan dia merasa keberatan.

Melalui surat pernyataan yang dikirimkannya dari Singapura. SBY berbicara soal ketidaklaziman dalam kampanye akbar Prabowo-Sandi di GBK. 

Dilihat era.id, Minggu (7/4/2019) surat SBY itu ditujukan kepada Ketua Wanhor PD Amir Syamsuddin, Waketum PD Syarief Hasan dan Sekjen PD Hinca Panjaitan. 

Di awal pesannya, SBY mengakui telah mendengar rencana kampanye akbar itu sejak Sabtu (6/4) sore. Dirinya yang masih mendampingi perawatan istrinya Ani Yudhoyono di Singapura, rupanya tidak setuju dengan konsep kampanye yang diawali dengan Salat Subuh berjamaah itu. 

"Sore hari ini, Sabtu, tanggal 6 April 2019 saya menerima berita dari tanah air tentang "set up", "run down" dan tampilan fisik kampanye akbar atau rapat umum pasangan capres-cawapres 02, Bapak Prabowo Subianto-Bapak Sandiaga Uno, di Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta," tulis SBY seperti dikutip era.id. 

"Karena menurut saya apa yang akan dilakukan dalam kampanye akbar di GBK tersebut tidak lazim dan tidak mencerminkan kampanye nasional yang inklusif, melalui sejumlah unsur pimpinan Partai Demokrat saya meminta konfirmasi apakah berita yang saya dengar itu benar," paparnya.

Dalam surat itu, SBY meminta pengurus Demokrat agar menyampaikan masukan kepada Prabowo-Sandi agar kampanye akbar yang diusungnya bisa berjalan lebih inklusif dan menghindari politik identitas.

"Penyelenggaraan kampanye nasional (di mana Partai Demokrat menjadi bagian di dalamnya) tetap dan senantiasa mencerminkan "inclusiveness", dengan sasanti "Indonesia Untuk Semua" Juga mencerminkan kebhinekaan atau kemajemukan. Juga mencerminkan persatuan. "Unity in diversity". Cegah demonstrasi apalagi "show of force" identitas, baik yang berbasiskan agama, etnis serta kedaerahan, maupun yang bernuansa ideologi, paham dan polarisasi politik yang ekstrim," tulis SBY.

Secara pribadi SBY mengatakan dirinya tidak suka jika rakyat Indonesia terpecah belah selama kampanye pemilu dan pilpres 2019 ini. Terlebih dengan cara yang mengedepankan politik identitas yang dapat menarik garis tebal pemisah antara kawan dan lawan di antara masyarakat Indonesia. 

"Saya pribadi, yang mantan Capres dan mantan Presiden, terus terang tidak suka jika rakyat Indonesia harus dibelah sebagai "pro Pancasila" dan "pro Kilafah". Kalau dalam kampanye ini dibangun polarisasi seperti itu, saya justru khawatir jika bangsa kita nantinya benar-benar terbelah dalam dua kubu yang akan berhadapan dan bermusuhan selamanya," ungkapnya. 

 

 

Kampanye Akbar @prabowo - @sandiuno

Sebuah kiriman dibagikan oleh Prabowo Sandi (@indonesiaadilmakmur) pada

Menurut SBY masih banyak narasi kampanye yang lebih cerdas dan mendidik, seperti apa yang pernah dilakukannya dalam Pilpres 2004, 2009 dan 2014 lalu. "Bangsa kita sangat majemuk. Kemajemukan itu di satu sisi berkah, tetapi di sisi lain musibah. Jangan bermain api, terbakar nanti," imbuhnya. 

SBY berpendapat, dalam pelaksanaan pemilu tahun ini rakyat Indonesia terus dibakar sikap dan emosinya untuk saling membenci dan memusuhi saudaranya yang berbeda pilihan politiknya. SBY mengungkapkan narasi politik identitas semacam ini bisa sangat menyesatkan. 

"Saya berpendapat bahwa juga tidak tepat kalau Pak Prabowo diidentikkan dengan kilafah. Sama tidak tepatnya jika kalangan Islam tertentu juga dicap sebagai kilafah ataupun radikal. Demikian sebaliknya, mencap Pak Jokowi sebagai komunis juga narasi yang gegabah," ungkap SBY.

"Dari pada rakyat dibakar sikap dan emosinya untuk saling membenci dan memusuhi saudara-saudaranya yang berbeda dalam pilihan politik, apalagi secara ekstrim, lebih baik diberi tahu, apa yang akan dilakukan Pak Jokowi atau Pak Prabowo jika mendapat amanah untuk memimpin Indonesia 5 tahun mendatang (2019-2024)," tulis SBY.

Di penghujung suratnya, SBY meminta pengurus Partai Demokrat untuk menghindari benturan politik identitas dan ideologi yang kelewat keras dan juga membahayakan. SBY menyarankan agar Prabowo-Sandio mengganti metode kampanye yang lebih menyampaikan visi, misi dan solusi. 

"Tentu dengan bahasa yang mudah dimengerti rakyat. Sepanjang masa kampanye, bukan hanya pada saat debat saja," tutup SBY.

 

 

Ada yang bilang yang datang ini dibayar?

Sebuah kiriman dibagikan oleh Prabowo Sandi (@indonesiaadilmakmur) pada

Berikut surat lengkap SBY:

Kepada yang terhormat

1.    Ketua Wanhor PD Amir Syamsudin

2.    Waketum PD Syarief Hassan

3.    Sekjen PD Hinca Panjaitan

Bismilahirrahmanirrahim

Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh

Salam Sejahtera

Salam Demokrat !

Sebenarnya saya tidak ingin mengganggu konsentrasi perjuangan politik jajaran Partai Demokrat di tanah air, utamanya tugas kampanye pemilu yang tengah dilakukan saat ini, karena terhitung mulai tanggal 1 Maret 2019 yang lalu saya sudah memandatkan dan menugaskan Kogasma dan para pimpinan partai untuk mengemban tugas penting tersebut. Sungguhpun demikian, saya tentu memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan agar kampanye yang dijalankan oleh Partai Demokrat tetap berada dalam arah dan jalur yang benar, serta berlandaskan jati diri, nilai dan prinsip yang dianut oleh Partai Demokrat. Juga tidak menabrak akal sehat dan rasionalitas yang menjadi kekuatan partai kita.

Sore hari ini, Sabtu, tanggal 6 April 2019 saya menerima berita dari tanah air tentang "set up", "run down" dan tampilan fisik kampanye akbar atau rapat umum pasangan capres-cawapres 02, Bapak Prabowo Subianto-Bapak Sandiaga Uno, di Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta. 

Karena menurut saya apa yang akan dilakukan dalam kampanye akbar di GBK tersebut tidak lazim dan tidak mencerminkan kampanye nasional yang inklusif, melalui sejumlah unsur pimpinan Partai Demokrat saya meminta konfirmasi apakah berita yang saya dengar itu benar. Malam hari ini, saya mendapat kepastian bahwa informasi yang didapat dari pihak lingkaran dalam Bapak Prabowo, berita yang saya dengar itu mengandung kebenaran.

Sehubungan dengan itu, saya minta kepada Bapak bertiga agar dapat memberikan saran kepada Bapak Prabowo Subianto, Capres yang diusung Partai Demokrat, untuk memastikan hal-hal sebagai berikut:

Penyelenggaraan kampanye nasional (dimana Partai Demokrat menjadi bagian didalamnya) tetap dan senantiasa mencerminkan "inclusiveness", dengan sasanti "Indonesia Untuk Semua" Juga mencerminkan kebhinekaan atau kemajemukan. Juga mencerminkan persatuan. "Unity in diversity". Cegah demonstrasi apalagi "show of force" identitas, baik yang berbasiskan agama, etnis serta kedaerahan, maupun yang bernuansa ideologi, paham dan polarisasi politik yang ekstrim. 

Pemilihan Presiden yang segera akan dilakukan ini adalah untuk memilih pemimpin bangsa, pemimpin rakyat, pemimpin kita semua. Karenanya, sejak awal "set up"nya harus benar. Mindset kita haruslah tetap "Semua Untuk Semua" , atau "All For All". Calon pemimpin yang cara berpikir dan tekadnya adalah untuk menjadi pemimpin bagi semua, kalau terpilih kelak akan menjadi pemimpin yang kokoh dan insya Allah akan berhasil. Sebaliknya, pemimpin yang mengedepankan  identitas atau gemar menghadapkan identitas yang satu dengan yang lain, atau yang menarik garis tebal "kawan dan lawan" untuk rakyatnya sendiri, hampir pasti akan menjadi pemimpin yang rapuh. Bahkan sejak awal sebenarnya dia tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin bangsa.  Saya sangat yakin, paling tidak berharap,  tidak ada pemikiran seperti itu (sekecil apapun) pada diri Pak Jokowi dan Pak Prabowo.

Saya pribadi, yang mantan Capres dan mantan Presiden, terus terang tidak suka jika rakyat Indonesia harus dibelah sebagai "pro Pancasila" dan "pro Kilafah". Kalau dalam kampanye ini dibangun polarisasi seperti itu, saya justeru khawatir jika bangsa kita nantinya benar-benar terbelah dalam dua kubu yang akan berhadapan dan bermusuhan selamanya. Kita harus belajar dari pengalaman sejarah di seluruh dunia, betapa banyak bangsa dan negara yang mengalami nasib tragis (retak, pecah dan bubar) selamanya. The tragedy of devided nation. Saya pikir masih banyak narasi kampanye yang cerdas dan mendidik. Seperti yang kita lakukan dulu pada pilpres tahun 2004, 2009 dan 2014. Bangsa kita sangat majemuk.  Kemajemukan itu di satu sisi berkah, tetapi disisi lain musibah. Jangan bermain api, terbakar nanti.

Para kader pasti sangat ingat, Partai Demokrat adalah partai Nasionalis-Relijius. Bagi kita Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika adalah harga mati. Tidak boleh NKRI menjadi Negara Agama ataupun Negara Komunis. Indonesia adalah "Negara Pancasila" dan juga "Negara Berke-Tuhanan".  Inilah yang harus diperjuangkan oleh Partai Demokrat, selamanya.

Saya berpendapat bahwa juga tidak tepat kalau Pak Prabowo diidentikkan dengan kilafah. Sama tidak tepatnya jika kalangan Islam tertentu juga dicap sebagai kilafah ataupun radikal. Demikian sebaliknya, mencap Pak Jokowi sebagai komunis juga narasi yang gegabah. Politik begini bisa menyesatkan. Sejak awal harusnya narasi seperti ini tidak dipilih. Tetapi sudah terlambat. Kalau mau, masih ada waktu untuk menghentikannya. 

Dari pada rakyat dibakar sikap dan emosinya untuk saling membenci dan memusuhi saudara-saudaranya yang berbeda dalam pilihan politik, apalagi secara ekstrim, lebih baik diberi tahu , apa yang akan dilakukan Pak Jokowi atau Pak Prabowo jika mendapat amanah untuk memimpin Indonesia 5 tahun mendatang (2019-2024). Apa solusinya, apa kebijakannya? Tinggalkan dan bebaskan negeri ini dari benturan identitas dan ideologi yang kelewat keras dan juga membahayakan. Gantilah dengan platform, visi, misi dan solusi. Tentu dengan bahasa yang mudah dimengerti rakyat. Sepanjang masa kampanye, bukan hanya pada saat debat saja.

Demikian Pak Amir, Pak Syarief dan Pak Hinca pesan dan harapan saya. Ketika saya menulis pesan ini, saya tahu AHY berada dalam penerbangan dari Singapura ke Jakarta, setelah menjenguk Ibu Ani yang masih dirawat di NUH. Partai Demokrat harus tetap menjadi bagian dari solusi, dan bukan masalah. Selamat berjuang, Tuhan beserta kita.

Wassalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh.

Singapura, 6 April 2019

Prof. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono

Prabowo dan Sandiaga ikut salat subuh berjamaah di GBK (Foto via Twitter Sandiaga)

 

Rekomendasi