Menghabiskan biaya sekitar Rp770 miliar, proyek renovasi Stadion GBK digarap dua kontraktor, PT Adhi Karya dan PT Penta Rekayasa Kerja Sama Operasi (KSO) dengan nilai kontrak Rp769,7 miliar. Untuk konsultan manajemen konstruksi, PT Deta Decon dan PT Multi Karadiguna Jasa KSO bertanggung jawab atas nilai kontrak sebesar Rp10,2 miliar.
Sejumlah keunggulan ditonjolkan dalam pembangunan stadion bersejarah ini, mulai dari penggunaan single seat yang menjamin kenyamanan lebih, rumput berstandar internasional hingga sistem evakuasi dan keamanan yang dipastikan jauh lebih baik dari sebelumnya.
(Infografis: Yuswandi/era.id)
Kisah berdirinya Stadion GBK
Berawal dari permintaan Asian Games Federation yang menunjuk Indonesia menjadi penyelenggara Asian Games ke IV Tahun 1962, Indonesia dituntut menyediakan kompleks multiolahraga. Untuk memenuhi syarat tersebut, presiden pertama Indonesia, Soekarno menerbitkan Keppres No 113/1959 tentang Pembentukan Dewan Asian Games Indonesia (DAGI) yang dipimpin oleh Maladi, Menteri Olahraga saat itu.
Pembangunan pun dimulai pada 8 Februari 1960, ditandai dengan pemasangan tiang pancang pertama --secara simbolis-- oleh Soekarno. Pada 21 Juli 1962, Soekarno meresmikan stadion yang ketika itu memiliki daya tampung hingga 110.000 orang.
Soekarno bangga bukan main karena pembangunan stadion terwujud dan ada ide-idenya dalam pembangunan stadion tersebut. Seperti diketahui, proklamator kita ini kan insinyur teknik sipil sehingga punya romansa khusus sama bidang konstruksi.
Satu hal yang jadi kebanggaan terbesar Soekarno adalah adanya atap temu gelang, yang diyakini Soekarno sebagai yang pertama di dunia. Inspirasi atap temu gelang didapat Soekarno dari air mancur di halaman Museo Antropologia de Mexico di Mexico City.
Sejak itu, Indonesia memiliki kompleks olahraga yang menyediakan beragam fasilitas, mulai dari stadion sepak bola, lapangan berbagai cabang olahraga, hingga gedung serba guna dan sejumlah fasilitas penunjang lainnya. Bahkan, sebagai upaya publikasi, peresmian GBK kala itu dibarengi dengan peresmian Televisi Republik Indonesia (TVRI).
Dinamika pembangunan GBK
Dalam persiapan pembangunan GBK, Soekarno dan DAGI sempat kesulitan menentukan lokasi. Awalnya, lokasi yang diusulkan Soekarno adalah lahan di sekitar Jalan MH Thamrin dan Menteng, yakni kawasan Karet, Pejompongan hingga Dukuh Atas.
Namun, Frederik Silaban, arsitek yang turut mendampingi Soekarno melihat potensi kemacetan dan banjir andai GBK dibangun di kawasan tersebut. Soekarno pun akhirnya menetapkan lahan 300 hektare di kawasan Senayan sebagai lokasi pembangunan GBK.
Sedikit masalah lain muncul ketika Soekarno harus memindahkan masyarakat yang tinggal di kawasan itu. Namun, dengan karismanya dan disertai uang ganti rugi, Soekarno berhasil memindahkan sekitar 60.000 warga Senayan ke sejumlah wilayah lain di Jakarta, seperti Tebet, Slipi, hingga Ciledug.
Dinamika lain muncul dari ranah politik. Mendapat suntikan kredit lunak sebesar 12,5 juta dolar AS dari pemerintah Uni Soviet, pembangunan Stadion GBK banyak diartikan sebagai simbol kedekatan Soekarno dengan paham kiri.
Apalagi, saat itu, Perdana Menteri Uni Soviet, Nikita Kruschev hadir dalam pemancangan simbolis tiang ke-100 pembangunan Stadion GBK. Meski hal itu terbantahkan dengan sendirinya di kemudian hari.
“Sesuatu yang bisa dimaklumi oleh karena proyek pembangunan stadion tersebut memperoleh bantuan kredit lunak sebesar 12,5 juta dollar AS yang disediakan pemerintah Uni Soviet,” tulis Julius Pour dalam buku "Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno".
Tak sampai di situ, terkait penamaannya pun, GBK sempat mengalami penggantian nama. Tepatnya pada masa Orde Baru, ketika penguasa saat itu mengganti nama Gelanggang Olahraga (Gelora) Bung Karno menjadi Stadion Utama Senayan. Selepas Orde Baru, yakni pada 2001, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) akhirnya mengembalikan nama stadion menjadi Gelora Bung Karno.
(Sumber: Pu.go.id)
(Sumber: Facebook/Joko Widodo)
(Sumber: Facebook/Love GBK)