Jauh dari hari ini, di hadapan wartawan, beberapa waktu silam, Sutopo pernah bilang: Hidup itu bukan soal panjang pendeknya usia, tapi seberapa besar kita dapat membantu orang lain. Pesan bijaksana yang ditangkap banyak wartawan hari itu pun menyebar, hingga tertangkap oleh Presiden Jokowi. Dalam pertemuannya dengan Sutopo, Jokowi bahkan menyebut Jokowi sebagai sosok yang menginspirasinya.
"Saya ingin mengutip kalimat Pak Sutopo yang dalam dan bijak, bahwa, 'hidup itu bukan soal panjang pendeknya usia, tapi seberapa besar kita dapat membantu orang lain.' Dan ia mengamalkan kalimat itu dengan baik," tulis Jokowi dalam caption foto yang ia unggah di akun Instagramnya, usai pertemuan dengan Sutopo saat itu.
Memang, Sutopo begitu inspiratif. Masyarakat mengenal luas dirinya sebagai sosok yang selalu hadir paling depan dalam menginformasikan kebencanaan di Indonesia. Setiap kali bencana melanda, setiap kali itu pula Sutopo akan hadir. Akun Twitter @Sutopo_PN akan jadi sasaran pencarian paling utama, sebab di sana masyarakat bisa mendapatkan berbagai informasi yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dari terpaan bencana alam.
Dan buat kami para wartawan, Sutopo akan selalu hadir, enggak cuma di grup-grup WhatsApp, tapi juga di sudut ruangan monitoring Graha BNPB di Jalan Pramuka, Jakarta Timur. Di sana, Sutopo akan berdiri di salah satu sudut ruangan penuh monitor itu, menyampaikan informasi kebencanaan dengan sangat detail dan rapi, dengan sisipan candaannya yang khas.
Dan ini yang menurut kami sangat istimewa dari Sutopo, bahwa ia selalu mendapat ruang untuk memaparkan seluas apapun hal yang tengah ia sampaikan tanpa gangguan interupsi dari wartawan. Memang, usai menjelaskan Sutopo akan memberi kesempatan seluas-luasnya untuk wartawan bertanya. Tapi, pesannya jelas. Sadar enggak sadar, semua wartawan menghormati Sutopo dan tahu bahwa apapun yang disampaikan Sutopo adalah hal yang penting untuk diketahui.
Kanker jahanam
Bulan Januari 2018 jadi salah satu titik balik paling getir dalam hidup Sutopo. Saat itu, dokter memvonis dirinya menderita kanker stadium empat. Siapa sangka, gejala penyakit batuk dan nyeri dada yang awalnya ia kira sebagai efek kegemukan ternyata merupakan sinyal dari dalam tubuhnya, bahwa ada sel jahanam yang menggerogoti paru-parunya.
Kala itu, dokter menyampaikan prediksi medis soal usia Sutopo yang hanya akan bertahan dalam waktu paling lama tiga tahun. Jelas, Sutopo sempat terpukul, apalagi saat mengingat usia anaknya yang masih kecil. Tapi, Sutopo menolak tunduk pada penyakitnya. "Selama usia saya masih ada, saya tetap berusaha melayani masyarakat sesuai dengan tugas saya," tutur Sutopo.
Sejak itu juga, Sutopo mulai menjalani rangkaian pengobatan dan kemoterapi untuk memberangus kanker yang bersemayam di tubuhnya. Tapi, sikap Sutopo sudah jelas sejak awal, bahwa kanker enggak boleh membuatnya lalai dari tanggung jawab menginformasikan kebencanaan kepada masyarakat luas. Hal itu dipegang teguh oleh Sutopo hingga hari ini, hingga pertemuan dengan salah satu wartawan kami beberapa hari lalu.
Hari itu, Sutopo tetap berdiri tegak seperti biasanya, suaranya enggak bergetar barang sedikit. Update jumlah korban bencana gempa tsunami di Palu, Donggala, Sigi dan sejumlah wilayah lain di Sulawesi Tengah jadi informasi yang ia sampaikan kepada para wartawan. Selain itu, Sutopo juga mengingatkan pemerintah soal minimnya anggaran mitigasi bencana. Buat Sutopo, hal itu sangat penting. Sutopo paham betul, enggak ada yang bisa menolak kehendak alam. Tapi, mengurangi risiko dari bencana tentu tetap perlu dilakukan, toh?
Sutopo guru para manusia
Sutopo memang begitu. Kalau tanggung jawab sudah memanggil, hanya itulah yang ia pedulikan. Sutopo pernah bercerita, bagaimana ia beberapa kali tetap berupaya menginformasikan kebencanaan meski di tengah perawatan atau pun di sela-sela operasi. Sutopo tahu betul, masyarakat membutuhkan dirinya. "Ketika terjadi bencana, dung! semua mencari saya, mencari informasi dan saya harus secara cepat menyampaikan informasi ke publik," kata Sutopo.
Saat terjadi longsor di Brebes, misalnya. Saat itu, Sutopo tengah menunggu jadwal operasi, ketika para wartawan tiba-tiba menghubunginya untuk mengonfirmasi kebenaran dari bencana longsor di Brebes. Dan di sela-sela waktu operasi itu jugalah Sutopo langsung mengkroscek kebenaran kabar itu kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat dan langsung membuat berita rilis untuk ia sebar kepada para wartawan.
Lalu, ketika Gunung Agung meletus, Sutopo dihadapkan dengan situasi yang sama. Sutopo dipaksa memilih keselamatan dirinya atau keselamatan orang banyak. Dan Sutopo memilih keselamatan orang banyak. Dengan keadaan tangan kanan yang diinfus dan selang oksigen yang menopang satu paru-paru --paru-paru sebelah kiri Sutopo telah ditutupi cairan yang diciptakan kanker-- untuknya bernapas, Sutopo tetap menulis rilis.
Soal Sutopo sebagai guru, sejatinya ini bukan metafora belaka. Di dunia akademisi, Sutopo adalah dosen Pascasarjana di tiga universitas besar: Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Pertahanan. Perjalanan Sutopo di dunia akademisi juga bukan tanpa prestasi. Pada tahun 1994 ia mengawali karirnya sebagai peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Puluhan karya ilmiah telah ditulisnya dan dimuat dalam bentuk jurnal ilmiah nasional. Yang terbaru adalah tulisannya yang berjudul Relevansi Meningkatnya Bencana Hidrometeorologi Terkait Kerusakan DAS di Indonesia (2015). Jadi, memang enggak berlebihan menyebut Sutopo sebagai Sang Guru Selamat. Sebab darinya, kita belajar soal begitu banyak hal, termasuk menyelamatkan diri dari bencana dan rintangan-rintangan hidup.
Selamat jalan, Pak Sutopo. Selamat jalan, Sang Guru Selamat!