PKB misalnya, lewat Ketua Umumnya, Muhaimin Iskandar (Cak Imin), meminta 10 jatah menteri pada Jokowi. Dia mengatakan, permintaannya itu adalah sebuah doa dengan harapan dikabulkan.
"Hari ini menteri dari kita (PKB) empat. Menpora dan lain-lain mudah mudahan menteri 10," kata Cak Imin beberapa waktu lalu saat menghadiri acara audiensi dengan anggota Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) Kabupaten Cianjur di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat.
Kemudian, Partai NasDem juga minta jatah menteri pada Jokowi. Anggota Dewan Pakar Partai NasDem Teuku Taufiqulhadi menyatakan, partainya lebih berhak mendapatkan banyak kursi daripada PKB.
"Suara NasDem kan lebih besar daripada PKB di DPR, berdasarkan kursi, maka sepantasnya NasDem mengusulkan 11," kata Taufiqulhadi beberapa waktu lalu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat.
Selanjutnya PPP yang mengungkit soal jatah menteri. Usai bertemu Presiden Jokowi di Istana Bogor, Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa mengatakan partai berlambang kakbah itu pantas mendapat 9 kursi menteri.
"Saya mengulangi saja (perkataan Presiden Jokowi). Kalau NasDem minta 11, PKB minta 10, maka pantes juga kalau PPP minta 9. Gitu kata presiden. Berarti itu apa artinya? Enggak ngerti saya," kata Suharso usai bertemu dengan Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (9/7).
Tiga partai ini beda dengan PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Dua partai ini lebih kalem soal perbincangan jatah menteri. PDIP malah mengaku belum ada ajakan dari Presiden Joko Widodo dan parpol koalisi lainnya untuk membahas soal kelanjutan pemerintah ke depan, termasuk soal kabinet.
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengatakan, partainya sedang fokus persiapan kongres pada Agustus 2019 mendatang di Bali daripada membicarakan jatah menteri.
"Saya kan lagi heboh urusan kongres," ungkap Mega, Rabu (10/7).
Meski begitu, Presiden RI kelima ini bilang, PDIP punya kewenangan menyarankan kandidat menteri untuk Jokowi. Hanya saja, dia tak mau mematok jumlah kursi menteri untuk PDIP.
"Tidak ada sebuah bentuk perhitungan yang proporsional bahwa seharusnya begini begitu," ungkapnya.
Sementara, Ketua DPP Golkar Meutya Hafid menyebut pihaknya tak ingin terburu-buru untuk meminta kursi menteri di kabinet Jokowi-Ma'ruf nantinya.
"Partai Golkar santai saja. Tidak terburu-buru meminta-minta jatah menteri kabinet," ungkapnya baru-baru ini di Jakarta
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiarti (Puput) menilai, budaya oportunis di politik Indonesia masih sangat kental, apalagi saat pemilu presiden.
Menurut dia, oportunisme politik ini tampak dari koalisi parpol yang umurnya tak pernah panjang selama era reformasi ini. Sebabnya, koalisi partai tidak dibangun atas visi-misi yang sama.
Koalisi partai politik, katanya, lebih mengutamakan kepentingan sesaat untuk kebutuhan politik, yaitu untuk mendapatkan dukungan politik dalam pemilu dan jabatan politik penting dalam pemerintahan.
"Penempatan menteri dari partai pendukung dalam pemilu bukan hal baru. Yang membedakan saat ini, partai politik nampak lebih vulgar menyampaikan keinginan jatah politik itu," ungkap Puput kepada era.id, Kamis (11/7/2019).
Ada dua faktor kenapa sekarang beberapa parpol di Koalisi Indonesia Kerja (KIK) lebih vulgar dalam mengungkapkan jatah menteri.
Pertama, kata Puput, adanya potensi perubahan peta politik. Hal ini bisa saja terjadi karena dikabarkan, sejumlah partai pendukung Prabowo-Sandiaga bakal merapat ke kubu Jokowi.
Kedua, lanjutnya, parpol koalisi yang telah menyebut jatah partai secara enggak langsung sebenarnya mau mengingatkan 'kerja' mereka selama masa kampanye sebelum Jokowi menang.
"Upaya ini memberikan semacam pengingat bagi Jokowi-Ma’ruf mengenai posisi mereka sebagai partai pendukung yang berjuang mengusung Jokowi-Ma’ruf dalam pemilu dan ini berbeda dengan partai baru yang mungkin masuk koalisi setelah pemilu," tutupnya.