Apapun alasannya, mungkin saja tujuan mulia itu bisa tercapai. Jangan-jangan, 'lampu merah bernyanyi' tak cuma ampuh kurangi stres ataupun tingkatkan ketertiban, tapi juga manjur kurangi macet.
Bukan kami yang bilang itu. Siang tadi, Kamis (18/7/2019), kami bertanya pada pengikut Instagram eradotid. Menanyakan tingkat keampuhan kebijakan ini dalam mengurangi kemacetan. Hasilnya, macam-macam. Ada yang melihat ini kebijakan yang sia-sia, tak guna dan menyakiti (telinga), meski tak sedikit yang menyuarakan optimisme soal kebijakan ini.
Akun @amibabi mengkritik kebijakan ini. Menurutnya, memperbaiki sistem transportasi di Kota Belimbing jauh lebih penting ketimbang memberi hiburan yang menurutnya tak menghibur-menghibur amat. "Ini maksudnya hiburan? Kok enggak menghibur kayaknya. Ajaib. Mending benahin jalanannya, transportasinya,” tulis dia. Netizen lain, @serah.derin turut menanggapi pertanyaan kami dengan nada negatif: unfaedah.
@amibabi ataupun @serah.derin boleh saja menyampaikan narasi pesimis terhadap kebijakan ini. Tapi, kami yang berpegang teguh pada optimisme tetap yakin kebijakan ini sangat strategis. Beberapa pengikut Instagram kami pun menangkap semangat positif yang sama.
Akun @bagusanakwage menyebut kebijakan ini sebenarnya cukup oke, meski masih butuh modifikasi. "Setuju. Kalau yang nyanyi Ebisu Muscats dan pakai video klip,” tulis dia.
Lainnya, @gemarach juga mengaku setuju dengan kebijakan ini. Menurut dia, nyanyian Idris di lampu merah-lampu merah Kota Depok akan ampuh mengurangi kemacetan, sebab orang-orang nantinya akan malas melewati jalanan-jalanan di Kota Depok. Barangkali @gemarach ada benarnya. Sebab, banyak netizen yang lebih mempermasalahkan kualitas suara Idris ketimbang kebijakan pasang lagu di lampu merah ini.
Akun @ramdanfeb bilang, kebijakan ini harus dimatangkan dengan menghadirkan suara penyanyi yang lebih baik. "Boleh lah kalau yang nyanyi Michael Jackson. Suara Bapak agak kurang soalnya,” tulisnya.
Alasan tepat
Barangkali benar, Pemerintah Kota Depok seharusnya tak perlu pusing mencari-cari alasan untuk apa kebijakan ini dibuat. Nyatanya tak ada yang peduli-peduli amat soal alasan itu. Menjadikan ketertiban sebagai alasan rasanya jadi kurang pas, sebab begitu banyak masyarakat yang melihat kebijakan ini sebagai hal mubazir.
Akun @tsatsiaaa berpendapat: Enggak bakal kedengaran juga, bwos. Jadi kagak setuju. Buang-buang anggaran buat pengadaan speaker.
Begitu juga dengan alasan mengurangi stres. Dalam ilmu psikologi, musik bisa jadi media terapi, termasuk untuk mengurangi stres. Mendengar lagu diyakini dapat memperbaiki suasana pikiran. Psikolog Universitas Indonesia (UI), Rose Mini Agoes Salim menjelaskan hal itu. Namun, Rose mencatat, ketika lagu yang diputar itu-itu saja, maka jadi percuma. Alih-alih memperbaiki suasana pikiran, seseorang malah bisa terjebak kebosanan.
"Kemacetan kan bisa jadi salah satu trigger atau pencetus stres, mendengar lagu bisa membantu mengurangi stres. Kalau dikasih lagu mungkin bisa sedikit suasana agak berbeda tapi belum tentu stresnya akan hilang. Tapi, untuk lebih membantu, mungkin lagunya bisa diganti-ganti," kata Rose saat dihubungi era.id, Rabu (17/7).
Sependapat, Psikolog Zoya Amirin menempatkan pendengaran lagu berada pada urutan kedua untuk mengurangi stres seseorang. Urutan pertama, menurut Zoya adalah indra penciuman. Stres, kata Zoya dapat diatasi dari bau-bauan relaksasi.
"Tapi, kalau aroma relaksasi kayaknya enggak efektif ditempatkan di ruang terbuka seperti lampu merah jalan raya. Makanya, pendengaran lagu masih menjadi pemicu pengurangan stres terbaik dibanding indra lain seperti penciuman, penglihatan, perasa, dan pengecapan."