Sejak Dulu Surabaya Adalah Kota Bertoleransi Tinggi

| 21 Aug 2019 17:33
Sejak Dulu Surabaya Adalah Kota Bertoleransi Tinggi
Gelaran budaya Surabaya (Twitter/Humas Pemkot Surabaya)

Jakarta, era.id - Sejak dulu, Surabaya adalah kota dengan toleransi tinggi. Kota Pahlawan ini dinyatakan sebagai salah satu kota terbaik soal keberagaman. Bahkan, Jose Tavares, Direktur Jenderal (Dirjen) Kerja Sama ASEAN memuji keselarasan masyarakat Surabaya di tengah keberagaman itu.

"Itu yang penting untuk kita bagikan kepada dunia," kata Tavares tiga tahun lalu kepada Antara.

Saat itu, Surabaya terpilih sebagai tempat perhelatan agenda berskala internasional, yakni East Asia Summit Regional Seminar for Capacity Building to Prevent and Counter Violent Extremism. 

Seminar itu membahas penyebab munculnya kejahatan ekstremis yang merupakan persoalan internasional. Gelaran itu dihadiri oleh sepuluh perwakilan negara ASEAN, Amerika Serikat, Australia, India, Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, Rusia, serta Selandia Baru. 

Tak heran, apabila Surabaya disebut sebagai salah satu kota terbaik soal keberagaman budaya, sebab nyatanya kota ini memang dihuni oleh banyak etnis.

Meskipun Jawa adalah suku mayoritas (83,68%), tetapi Surabaya juga jadi tempat tinggal berbagai suku bangsa di Indonesia, termasuk suku Madura (7,5%), Tionghoa (7,25%), Arab (2,04%).

Sisanya, suku bangsa lain seperti Bali, Batak, Bugis, Manado, Minangkabau, Dayak, Toraja, Ambon, Aceh, hingga warga asing hidup dengan rukun. Beragam etnis bermigrasi ke Surabaya. Penduduk pendatang di sana hidup berbarengan serta membaur dengan penduduk asli.

Menurut artikel hasil kajian Institut Pertanian Bogor (IPB), hal itulah yang membentuk pluralisme budaya yang kemudian menjadi ciri khas Kota Surabaya. 

"Sikap pergaulan yang sangat egaliter, terbuka, berterus terang, kritik dan mengkritik merupakan sikap hidup yang dapat ditemui sehari-hari (di Surabaya). Bahkan, kesenian tradisonal dan makanan khasnya mencerminkan pluralisme budaya Surabaya dan sekitarnya," ditulis artikel itu.

Sebagai pusat pendidikan, Surabaya juga menjadi tempat tinggal mahasiswa dari berbagai daerah seluruh Indonesia. Bahkan, tak sedikit yang membuat wadah komunitas tersendiri. 

Gambaran toleransi

Keberagaman dan sikap toleransi juga tercermin dari beragamnya tempat wisata religi yang ada di Kota Pahlawan tersebut. Meski Islam menjadi agama mayoritas di sana, kerukunan umat beragama di Surabaya sangat terjaga. Hal itu tergambar dari bangunan tempat ibadahnya yang selain unik dan punya ciri khas, juga menjadi wujud nyata kerukunan antar-umat beragama. 

Yang pertama adalah patung Buddha empat wajah. Patung tersebut berada di kawasan Pantai Ria Kenjeran, sekitar delapan kilometer dari pusat Kota Surabaya. Bangunan ini menjadi salah satu destinasi wisata yang banyak dikunjungi para pelancong karena bentuknya yang unik. 

Bangunan yang terdiri atas empat pillar yang menyangga stupa di bagian atas itu dibangun di lahan seluas 1,5 hektare. Bagian empat wajah yang berada di patung itu melambangkan empat sifat Buddha yakni pengasih, murah hati, adil, dan sifat meditasi.

Selain itu, tempat wisata religi yang tak kalah ramai dikunjungi wisatawan adalah Pura Agung Jagat Karana. Lokasinya yang berada di tengah pemukiman warga membuktikan nilai toleransi dalam kehidupan masyarakat Kota Surbaya sudah tertanam sejak lama. Pura yang berada di Jalan Ikan Lumba-Lumba ini punya tiga bangunan utama, yaitu Mandala Utama, Mandala Madya, dan Mandala Nista. 

Selanjutnya, tempat ibadah yang sekaligus jadi tempat wisata adalah masjid terbesar kedua di Indonesia, yakni Masjid Agung Al-Akbar. Masjid ini tidak hanya menjadi tempat ritual ibadah, namun menjadi wadah edukasi dan pendidikan kebudayaan. Tempat wisaya religi selanjutnya adalah Gereja Bethany Surabaya. Gereja ini merupakan salah satu gereja terbesar di Asia Tenggara. 

Awalnya, gereja ini dibangun pada 1978 oleh seorang pendeta bernama Abraham Alex Tanuseputra. Dengan visi “Succesful Bethany Families”, gereja terus berkembang. Dimulai pada 1987 gereja melakukan visi pembangunan Graha Bethany yang berdiri di wilayah Nginden ini dengan kapasitas 20.000 jemaat dan selesai pada tahun 2000. 

Kemudian, yang terakhir, bangunan yang membuktikan hidupnya nilai-nilai toleransi adalah Kelenteng Hong Tiek Hian. Berlokasi di Jalan Dukuh, Surabaya Utara --tepatnya di kawasan Pecinan Surabaya-- lokasi kelenteng ini tidak jauh dari kawasan legendaris Jembatan Merah.

Bangunan kelenteng berusia ratusan tahun ini menjadi menarik lantaran dipisahkan oleh seruas gang kecil yang memisahkan dua bagiannya. Kedua, bagian kelenteng dihubungkan dengan jembatan dua ekor naga. Letaknya yang strategis membuat tempat itu ramai dikunjungi pelancong dari berbagai daerah dan berbagai macam latar belakang masyarakat.

Rekomendasi