Petani jadi baris terdepan, disusul sejumlah lembaga swadaya hingga pemerintah yang diwakili Kementerian Pertanian (Kementan). Semuanya sepakat bahwa saat ini bukan momen yang tepat untuk melakukan impor. Sebab, Februari mendatang merupakan estimasi dimulainya periode panen raya.
Kementan juga telah merilis estimasi hasil pertanian selama periode panen raya yang akan berakhir pada Maret 2018 mendatang. Pada panen raya itu, Kementan memprediksi peningkatan luas lahan panen, dari 854 ribu hektare pada Januari menjadi 1,64 juta hektare pada periode mendatang.
Hasil panennya pun diperkirakan meningkat sekitar dua kali lipat. Dari 2,7 juta ton jadi 5,4 juta ton beras. Terkait itu, pengamat ekonomi, Eny Sri Hartati menuturkan, impor seharusnya jadi pilihan terakhir, ketika sumber daya di dalam negeri tak mampu mencukupi kebutuhan.
(Infografis: era.id)
"Impor memang diinginkan, karena di UU pangan itu diperbolehkan. Tapi ada prasyaratnya, yakni ketika kebutuhan kita tidak mampu kita penuhi. Ini soal yang sederhana sekali," tutur Eny kepada era.id, Jumat (19/1/2017).
Menurut Eny, pemerintah telah mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam pengambilan keputusan impor ini. Sebelum memutuskan impor, pemerintah seharusnya terlebih dahulu melakukan riset dan pendataan mendalam terhadap ketersediaan stok beras nasional.
"Kalau tidak cukup, ya boleh saja impor. Tapi kalau cukup, ya tidak impor. Sesederhana itu, tapi yang jelas acuan untuk impor atau tidak adalah stok," kata Eny.
Indikasi pengabaian prinsip kehati-hatian dapat dilihat dari waktu impor yang dianggap tak tepat lantaran bertepatan dengan periode panen raya.
"Keputusan impor itu bukan salah tapi terlambat. Kalau impor baru masuk Februari, mau nanti pemerintah memutuskan impor atau tidak, ya nanti pasti Februari harga turun. Kan setelah panen harga pasti turun," kata Eny.
Tak sampai di situ. Penolakan juga muncul dari sejumlah kepala daerah, mulai dari Aceh Barat, Kulon Progo hingga Banten dan Jakarta yang tampak masih bingung.