Tiga Roda Kembali Berdecit

| 20 Jan 2018 08:46
Tiga Roda Kembali Berdecit
Ilustrasi(era.id)
Jakarta, era.id - "Kleneng,...kleneng,...kleneng," kaleng rombeng di kolong kursi penumpang berbunyi, tanda becak melintas. Pengguna jalan lain diharap berhati-hati, tulis Tim Hannigan dalam Beguilled by Becak.

Pada 1936, tiga roda becak berdecit pertama kali di jalanan Jakarta. Di sisi depannya berpenumpang. Rantainya dilumuri oli gemuk agar lancar berputar. Dari kolongnya terdengar suara gemerincing. 

Tak ada yang mengetahui kepastian kapan becak dikenal di Jakarta. Lea Jellinek dalam bukunya Seperti Roda Berputar (LP3ES;1995) menuliskan, klausul becak didatangkan ke Batavia dari Singapura dan Hongkong pada 1930-an.

Majalah Star Weekly (1960) menulis, becak masuk ke Indonesia awal abad ke-20 untuk keperluan pedagang Tionghoa mengangkut barang. Pada 1937 becak dikenal dengan nama “roda tiga”.

Surga penarik becak 

Sebutan becak  (betjak), bee (kuda) dan tja (gerobak) atau berarti kuda gerobak, baru digunakan tahun 1940. Ketika mulai digunakan sebagai kendaraan umum pada waktu itu pemandangan becak berpenumpang tidak disukai orang-orang Hindia-Belanda. Mereka menganggap becak sebagai angkutan yang berbahaya. Keselamatan penumpangnya diragukan. Becak terus dilarang beroperasi di jalanan kota.

Saat Jepang menduduki Indonesia pada 1942-1945, sejumlah aturan yang dibuat pemerintah kolonial Belanda mengalami perombakan besar. Jepang menekankan sistem efisiensi transportasi publik. Satu-satunya moda transportasi utama yang diperbolehkan adalah dokar (kereta berkuda), termasuk sado dan delman.

Aturan yang diterapkan pemerintah Jepang tak berlangsung lama. Kendaraan bertenaga kuda ternyata butuh biaya pemeliharaan yang tinggi. Kuda-kuda penarik kereta sebagian besar mati kelaparan. Pada masa itu, makanan kuda sulit dicari. Armada transportasi semakin terbatas.

Kondisi itu menghidupkan transportasi becak. Mereka bebas masuk ke jalanan kota dan 'blusukan' di jalan kampung. Sejak itu, becak berjaya, dan menjadi satu-satunya transportasi jarak dekat yang bisa diandalkan. Selain murah, pemeliharaannya sederhana. Becak tidak berbahan bakar, cukup mengandalkan kekuatan tenaga si pengemudi.

“Ketika itu, Jakarta seolah-olah menjadi ‘surga’ bagi penarik becak. Mereka bebas beroperasi tanpa ada pembatasan,” tulis Alwi Shahab dalam Becak, dari Hongkong ke Bang Yos (5 Agustus, 2009).

Bersamaan dengan kebebasan beroperasi ini, sudah ada pemikiran untuk membatasi operasi becak yang pengemudinya main serobot, dan tidak peduli lampu merah. Sampai akhirnya, kemacetan menjadi permasalahan baru di Jakarta.

100 ribu becak

Banyak literatur menyebutkan Indonesia memiliki angka produksi becak terbesar. Tapi, masalah utamanya bukan itu. Pada masa keemasannya, pertumbuhan jumlah becak seiring dengan dorongan kebutuhan ekonomi kaum urban yang semakin mendesak.

Banyak para tukang becak berdatangan dari kampung, mencoba mengadu nasib di kota besar seperti Jakarta. Angka keberadaan becak terbesar terjadi di tahun 1980, mencapai 100 ribu becak di Jakarta. Angka tersebut disesuaikan dengan pertumbuhan jumlah tukang becak sebanyak 3% di setiap tahunnya.

Pendapat berbeda dikatakan Sartono Kartodirdjo dalam bukunya Pedicab in Yogyakarta: A Study of Low Cost Transportation and Poverty Problems, pada pertengahan hingga akhir 1950-an ada sekitar 25.000 hingga 30.000 becak di Jakarta. Jumlah becak pun terus bertambah, pada 1966 mencapai 160 ribu unit. Angka tersebut menjadi jumlah tertinggi dalam sejarah.

Sejak pertama kali pelarangannya di tahun 1940. Becak selalu menjadi cibiran pemerintah. Becak dinilai tidak pantas melaju di jalan besar. Selain mengganggu kelancaran lalu lintas kota, geraknya pelan, tanpa lampu penanda belok, dan tanpa spion.

Dianggap tidak manusiawi

Ironisnya, prinsip pencarian nafkah si miskin ini ditentang para pemangku kebijakan. Becak dianggap tidak manusiawi. Kerja penarik becak tak ubahnya seekor kuda.

Abang tukang becak dipaksa bekerja keras. Menggenjot engkol becak, sementara sang penumpang duduk manis di bangku depan. Bahkan, di jalan menanjak tukang becak terpaksa turun. Becak tak lagi dikayuh, tapi didorong penuh tenaga.

Prinsip kerja becak dianggap mengeksploitasi manusia. Padahal faktanya, becak membuka lapangan pekerjaan. Para tukang becak bekerja atas kemauan mereka sendiri. Tak peduli, meski  otot betis kaki mereka semakin mengencang. Mereka juga menutup telinga dari cibiran banyak orang yang mengatakan, tukang becak ciri pekerja keras bagai kuda.

Menurut Alwi Shahab, pembatasan dan operasi penertiban becak baru dilakukan pada masa Gubernur Ali Sadikin. Pada awal 1970, jumlah becak di Jakarta sudah mencapai antara 100 ribu hingga 150 ribu buah dengan jumlah penariknya sebanyak 350 ribu orang, atau sekitar 10 persen dari penduduk Jakarta. 

Sekalipun menghadapi berbagai kritik, Ali Sadikin sebagai gubernur yang tegas dan berani saat itu mengeluarkan berbagai peraturan yang membatasi operasi becak. Termasuk keharusan memiliki rebewes atau surat izin mengemudi (mobil, motor). Bang Ali yang bertekad ‘menghabisi’ becak di Jakarta juga mempersempit ruang lingkup mereka. Seperti pembatasan daerah dan waktu operasi becak hingga 1979.

Tindakan Bang Ali ini kemudian dilanjutkan oleh para penggantinya: Suprapto, Wiyogo Atmodarminto, dan Sutiyoso. Becak dianggap sebagai gambaran keterbelakangan Indonesia. Kuno dan memalukan. Profesi tukang becak dianggap kelas bawah. Putus sekolah berarti bakal jadi tukang becak.

Waktu itu merupakan pemandangan biasa di Ibukota bila aparat menggaruk ratusan becak, dinaikkan ke truk-truk. Kemudian becak-becak itu dibuang ke laut di Muara Karang untuk dijadikan sebagai tempat hidup ikan (rumpon).

Hingga era Gubernur DKI Jakarta berikutnya, mereka meneruskan perjuangan Ali mengurangi peredaran becak. Seluruh becak harus terdaftar. Satu-persatu, becak mulai dimusnahkan. Di tahun yang sama juga, becak mulai menghadapi pesaing, dengan kehadiran ojek motor, mikrolet, dan metromini.

Pemerintah mendatangkan 10.000 minica (bajaj, helicak, minicar) untuk menggantikan 150.000 becak. Ketika itu, pemerintah memrogramkan para tukang becak beralih profesi menjadi pengemudi angkutan kota.

Masa becak di perkotaan berakhir, saat di keluarkannya Perda No.11 Tahun 1988. Larangan keras pemerintah mendesak becak untuk tidak beroperasi di jalanan kota. Hingga akhirnya di masa itu seluruh becak yang terdaftar dikumpulkan, lantas dibuang ke laut.

Kebanggaan hidup para tukang becak seketika sirna. Handuk kecil yang biasa melingkar di leher, mulai mereka tanggalkan. Tak ada lagi pengelap peluh, seiring becak-becak cantik mereka tenggelam di ujung perairan Jakarta.

Tapi alam tak memusnahkannya begitu saja. Sedikit bagian dari becak yang menyingkir mencari lokasi baru. Di daerah-daerah pemukiman di luar Jakarta seperti Depok, Tangerang, Bekasi, dan Bogor becak masih diperlukan. Pangkalan becak masih terlihat di pinggiran jalan. Di depan pintu masuk komplek perumahan, dan pertigaan jalan. Bersandar di keramaian urban, di pasar, di stasiun kereta.

Di era kepemimpinan Anies-Sandi sekarang, si tiga roda bakal diperbolehkan lagi berdecit di  jalan-jalan lingkungan, dan perkampungan Jakarta. Mampukah roda becak bergerak berdampingan menggilas jalanan Ibu Kota dengan moda transportasi lain?

Kita lihat saja nanti.