Melihat Masa Depan Pemberantasan Korupsi Lewat Kasus Nahrawi

| 19 Sep 2019 14:13
Melihat Masa Depan Pemberantasan Korupsi Lewat Kasus Nahrawi
Imam Nahrawi (Instagram/nahrawi_imam)
Jakarta, era.id - Menpora Imam Nahrawi ditetapkan sebagai tersangka suap dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Ini merupakan pengembangan dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK akhir tahun lalu. Belum ada putusan pengadilan. Praduga tak bersalah harus dijunjung. Namun, biar bagaimanapun ini adalah hasil besar dari kerja panjang KPK. Hasil yang entah dapat kembali dicapai atau tidak dengan UU KPK yang baru dan segala kelemahannya.

Rabu petang (18/9), Alexander Marwata, Wakil Ketua KPK yang jadi satu-satunya incumbent dalam jajaran pimpinan KPK periode mendatang pasang badan mengumumkan status tersangka Nahrawi. Politikus PKB diduga menerima uang sebesar Rp26,5 miliar sebagai bentuk commitment fee pengurusan proposal dana hibah yang diajukan KONI kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).

“Ditetapkan dua orang sebagai tersangka, yaitu IMR, Menteri Pemuda dan Olahraga 2014-2019 dan MIU, asisten pribadi Menteri Pemuda dan Olahraga,” tutur Marwata didampingi Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.

Sebelum Nahrawi, KPK lebih dulu menjerat lima orang tersangka, yakni Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, Bendahara Umum KONI Johnny E Awuy, eks Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora Mulyana, serta dua staf Kemenpora, Eko Triyanto dan Adhi Purnomo. Untuk nama pertama, Ending, pengadilan telah menjatuhkan hukuman penjara dua tahun delapan bulan.

Lainnya, Johnny, divonis penjara satu tahun delapan bulan. Sementara, Purnomo, Triyanto, dan Mulyana baru saja menerima vonis majelis hakim di Pengadilan Tipikor, Jakarta pada Kamis lalu (12/9). Pengadilan memvonis Purnomo dan Triyanto penjara empat tahun plus denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan. Mulyana divonis empat tahun enam bulan penjara plus denda Rp200 juta dan subsider dua bulan kurungan.

Penetapan tersangka Imam Nahrawi (Istimewa)

Kerja panjang KPK

Terungkapnya dugaan keterlibatan sang menteri dalam praktik korup bermula pada OTT KPK tanggal 18 Desember 2018. Saat itu, KPK mencokok sembilan orang di kantor Kemenpora, Gerbang Pemuda, Jakarta Pusat. Eko Triyanto dan Adhi Purnomo ditangkap pertama pada pukul 19.10 WIB di ruang kerja mereka. Keduanya diduga menerima Rp300 juta dari pejabat KONI yang ingin meloloskan dana hibah.

Penangkapan kedua dilakukan di Roxy, Jakarta Barat. Dalam penangkapan itu, Ending Fuad Hamidy diangkut bersama sopirnya pada pukul 19.45 WIB. Masih di hari yang sama, KPK melanjutkan penangkapan Jhonny E Awuy. Penangkapan Jhonny dilakukan serentak bersama sejumlah pegawai KONI pada pukul 23.00 WIB di kediaman masing-masing. Selanjutnya, pagi hari 19 Desember 2018, satu pegawai KONI ditangkap di kantornya.

Dari rangkaian penangkapan yang ditindaklanjuti dengan penggeledahan, KPK menetapkan lima orang sebagai tersangka kemudian. KPK juga menyita uang tunai sejumlah Rp318 juta, buku tabungan berisi Rp100 juta, bingkisan plastik berisi uang senilai Rp7 miliar, serta satu unit mobil Chevrolet Captiva sebagai barang bukti. Selain itu, KPK juga menyegel tiga ruangan di kantor Kemenpora.

Sesaat setelah rangkaian OTT, Imam Nahrawi sempat menggelar konferensi pers dan menyatakan kekecewaan serta kegagetannya. "Pertama, sungguh, saya dan tentu kami semua prihatin, terkejut, kecewa atas kejadian yang menimpa semalam deputi IV dan staf kedeputian," tutur Imam dalam konferensi pers yang ditulis CNN Indonesia hari itu.

Mengawali era kelam pemberantasan korupsi

Era kelam pemberantasan korupsi telah dimulai sejak DPR dan pemerintah mengesahkan RUU KPK, Selasa (17/9), satu hari sebelum penetapan Imam Nahrawi sebagai tersangka. Berbagai pihak menilai UU baru KPK akan jadi ganjalan besar dalam upaya pemberantasan korupsi dari berbagai sisi.

Dalam konteks dewan pengawas, misalnya. Dimuat dalam UU yang baru, KPK diwajibkan meminta izin kepada dewan pengawas sebelum melakukan penyadapan, penggeledahan, penyitaan, hingga OTT. Landasan hukum ini dinilai akan memperumit proses penegakan hukum di dalam tubuh KPK.

Berkaca dari proses hukum terhadap Nahrawi, hal itu sejatinya membuktikan pentingnya independensi KPK dalam melakukan proses penegakan hukum, mulai dari penyadapan, OTT, hingga pemeriksaan dan pengembangan kasus. Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Yuris Rezha menuturkan, penetapan Nahrawi sebagai tersangka dilakukan lewat pendalaman dan pengembangan yang panjang oleh KPK. 

“Pertama, penetapan Imam Nahrawi sebagai tersangka oleh KPK kemarin. Dari awal memang sudah terendus kasusnya. Karena memang di proses penegakan hukum KPK tentang korupsi di tubuh Kemenpora, seperti penyadapan dan pemeriksaan sebelumnya sudah banyak mengarah ke situ (keterlibatan Nahrawi),” tutur Yuris dihubungi era.id, Kamis (19/9/2019).

“Terus, soal kasus-kasus yang melibatkan proses penyadapan, penggeledahan, OTT, penyitaan, dan lain-lain. Dengan mengharuskan perizinan dewan pengawas, memperumit dan memperpanjang birokrasi KPK. Menghambat proses. Saya piki, apa yang akan dilakukan KPK dalam mengungkap kasus korupsi besar ke depan akan semakin berat,” tambah Yuris.

Pengesahan RUU KPK dalam paripurna DPR (Mery/era.id)

Terkait substansi lain, yakni kewenangan penerbitan surat penghentian penyidikan perkara (SP3). Landasan hukum baru ini disebut akan memberi tekanan luar biasa bagi KPK. Dalam kasus Imam, pengesahan UU KPK yang baru akan jadi kendala untuk mendalami keterlibatan pihak-pihak lain dalam kasus ini. Dengan pengesahan UU baru, KPK kini cuma punya waktu dua tahun untuk melimpahkan perkara Imam ke pengadilan.

Tak cuma kasus Imam. Kewenangan SP3 juga akan mengganjal penuntasan kasus-kasus korupsi besar, termasuk kasus e-KTP yang telah lama bergulir. “Kita bisa melihat contoh kasus yang lama seperti kasus besar korupsi e-KTP. Ini butuh bertahun-tahun untuk diproses karena memang kasusnya rumit,” kata Yuris.

“Atau juga kasus yang berkaitan dengan Undang-Undang hukum di luar negeri atau multi-nasional. Dengan adanya SP3 ini, kasus besar berpotensi menguap begitu saja,” tambah dia.

Dengan kata lain, UU KPK baru akan memperkecil peluang KPK untuk mengungkap kasus-kasus besar sebagaimana kasus Nahrawi. Awal kelam pemberantasan korupsi dimulai.

Rekomendasi