Dugaan ini banyak muncul karena selama beberapa pekan, lembaga antirasuah tersebut terkapar setelah diobok-obok oleh pemerintah. Sehingga bantahan pun kemudian disampaikan oleh Wakil Ketua KPK Laode M Syarif.
"Itu tidak ada motif politik sama sekali. Kalau ada motif politik mungkin diumumkan sejak ribut-ribut kemarin. Enggak ada itu," kata Syarif di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (19/9/2019).
Imam memang menjadi tersangka setelah ada dua peristiwa besar yang melanda KPK. Mulai dari seleksi calon pimpinan KPK yang bermasalah oleh DPR, sampai pengesahan RUU KPK.
Kembali kepada penetapan Imam Nahrawi, Syarif menjelaskan bahwa KPK telah mengirimkanSurat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada politikus PKB itu. Ini sekaligus mengklarifikasi pernyataan Imam yang bilang dirinya baru mengetahui penetapan tersangka tersebut, setelah KPK melakukan konferensi pers.
"Saya pikir itu salah, karena kita sudah kirimkan (surat). Kalau kita tetapkan status tersangka seseorang, itu ada kewajiban KPK sampaikan surat ke beliau dan beliau sudah menerimanya," ungkap Syarif.
Tak hanya itu, Syarif juga mengatakan banyak tata kelola di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang harus diperbaiki setelah penetapan Imam Nahrawi sebagai tersangka. Tak hanya itu, KPK juga bakal menurunkan Tim Pencegahannya untuk mengamankan aset yang ada.
"Tim Pencegahan (KPK) akan turun termasuk menyelamatkan aset-aset yang pernah ada beberapa kali pengadaan untuk persiapan pesta olahraga. Alatnya itu datang, setelah pesta olahraganya berlalu, seperti itu," jelasnya.
KPK sendiri sudah mengungkapkan, kalau kasus ini merupakan pengembangan dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK sebelumnya. Dengan lima orang tersangka meliputi Deputi IV Kemenpora Mulyana (MUL), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Kemenpora Adhi Purnomo (AP), Staf Kemenpora Eko Triyanto (ET), Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy (EFH), dan Bendahara Umum KONI Johnny E Awuy (JEA).
Nama Imam Nahrawi mulai masuk ke dalam radar penyelidikan KPK, sejak pemanggilan pertamanya untuk pemeriksaan kasus korupsi dana hibah KONI, pada Januari 2019 lalu. Kepada penyidik KPK, Imam mengkaim memberikan penjelasan mengenai prosedur pengajuan proposal dana hibah tersebut. Kala itu, Imam diperiksa penyidik KPK selama kurang lebih lima jam.
Kasus dugaan korupsi ini lantas mulai memasuki persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Lagi-lagi dalam salah satu kesaksian, nama Imam Nahrawi kembali muncul. Pernyataan itu diungkap saat kesaksian Sekretaris Bidang Perencanaan Anggaran KONI, Suradi, yang mengaku membuat daftar uang yang akan diberikan ke para pejabat di Kemenpora.
Imam Nahrawi juga pernah dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan dana hibah KONI dengan terdakwa Ending Fuad Hamidy dan Johnny E Awuy di Pengadilan Tipikor, Jakarta, 29 April 2019. Ia juga menjadi saksi dalam sidang pada 4 Juli 2019 dengan terdakwa Mulyana, Adhi Purnomo, dan Eko Triyanta.
Dalam persidangan, jaksa mencecar Imam terkait penggelembungan dana untuk KONI dari yang diatur standar Rp7 miliar malah bengkak jadi Rp47 miliar. Terlebih Permen Nomor 10 Tahun 2018 terkait SOP yang mengatur besaran bantuan fasilitas yang diberikan ke KONI dan induk cabang olahraga lainnya, hanya dibatasi mendapat anggaran Rp7 miliar dalam satu paket kegiatan.
Junklak junknis atau SOP dari implementasi Permen Nomor 10 Tahun 2018 itu dibuat oleh Deputi IV Kemenpora Mulyana dan disahkan Imam Nahrawi untuk tahun anggaran 2018. Namun dalam keterangannya, Imam mengaku tidak tahu akan hal tersebut.
Terkait kasus ini, setidaknya para tersangka dari lingkup pejabat Kemenpora telah dijatuhi vonis oleh Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi pada Kamis (12/9).
Mantan Deputi IV bidang peningkatan prestasi olahraga Kemenpora Mulyana divonis empat tahun enam bulan penjara. Sedangkan staf Kemenpora Adhi Purnomo dan Eko Triyanta dipenjara empat tahun dan denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan. Mereka terbukti menerima suap dari mantan Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy.