Hujan yang Tak Pernah Sebegitu Dirindu

| 23 Sep 2019 19:57
Hujan yang Tak Pernah Sebegitu Dirindu
Dampak kebakaran hutan (setkab.go.id)
Jakarta, era.id - Ancaman kabut asap akibat kebakaran hutan makin serius. Hujan disebut-sebut sebagai satu-satunya jalan keluar paling optimal. Sabtu siang (21/9), guyuran air yang dinanti-nanti pun datang. Hujan yang tak pernah begitu dirindukan seperti hujan dua hari lalu.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengumumkan, hujan turun di Riau, Palangkaraya, serta sebagian wilayah di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.

Hujan itu, kata Siti adalah hasil kerja keras segala otoritas yang terlibat dalam operasi penanganan kebakaran hutan dan kabut asap.

Siti menuturkan, penciptaan hujan buatan dengan upaya modifikasi cuaca lewat penebaran garam juga terus dilakukan. Kementeriannya juga terus berkoordinasi dengan elemen lain dalam upaya pemadaman kebakaran hutan.

"Kemarin siang (21/9) dilaporkan hujan turun di Palangkaraya serta sebagian Kaltim dan Kalsel. Hujan buatan juga terus dilakukan di Riau, mengingat di provinsi ini mengalami dampak asap karhutla dari provinsi tetangga (Jambi dan Sumsel)," kata Siti ditulis Antara, Minggu (22/9).

"Meski hari ini titik panas relatif menurun, namun penanganan dampak asap sangat penting untuk terus menerus dilakukan dengan cara hujan buatan atau teknik modifikasi cuaca," tambahnya.

Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hujan pertama terjadi di Riau dengan intensitas deras --terutama di Kelurahan Sungai Apit, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak-- pada pukul 15.28 WIB.

Hujan lain juga terlapor mengguyur Desa Sumber Jaya, Kecamatan Siak Kecil, Kabupaten Bengkalis dalam intensitas sedang. Hujan terjadi pada pukul 15.20 hingga 15.35 WIB.

Terkait hujan tersebut, sebuah video jadi viral. Dalam video itu tampak seorang polisi lalu lintas yang merayakan rasa syukur atas turunnya hujan.

 

Ragam komentar menanggapi video tersebut. Sebagian besar netizen bersyukur atas turunnya hujan. Mereka juga mengapresiasi kerja keras tim penanganan kebakaran hutan. Meski begitu, sebagian warga juga mengungkap kekhawatiran, bahwa sedikitnya intensitas hujan yang terjadi justru akan memperparah kepekatan asap, sebagaimana yang pernah terjadi sebelumnya.

Memancing hujan

Jelas saja hujan dirindukan. Selain kemarau panjang yang tak kunjung sudah, nyatanya penciptaan hujan buatan memang sulit dilakukan dalam kondisi udara yang terlanjur berkabut.

Selama ini kendala penciptaan hujan buatan terjadi karena otoritas tak menemukan awan yang bisa dijadikan medium pembuatan hujan. Padahal, merujuk teori, dibutuhkan setidaknya 80 persen awan sebagai syarat merealisasikan hujan buatan.

Untuk memancing kemunculan awan, pihak Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bahkan harus menggunakan 40 ton kalsium oksida. Senyawa ini berfungsi untuk mengurai partikel gas akibat kebakaran.

Persiapan penciptaan hujan buatan (Twitter/BPPTRI)

Terurainya partikel gas akan menghilangkan asap yang selama ini menghalangi radiasi sinar matahari ke permukaan bumi dan jadi hambatan dalam proses penguapan air. Tanpa penguapan air, tak akan ada awan yang terbentuk. Dan tanpa awan, penciptaan hujan buatan tak akan dapat dilakukan.

Setelah awan muncul, otoritas kemudian menyemai garam atau natrium klorida (NaCI) dengan menargetkan sejumlah wilayah di Kalimantan, mulai dari Kalimantan Tengah hingga Kalimantan Selatan.

Proses penyemaian ini nyatanya tak mudah. Penyemaian harus dilakukan berkali-kali dengan jumlah garam yang cukup banyak untuk memancing hujan. BPPT sendiri konon telah menghabiskan lebih dari 100 ton garam sejak Februari 2019 lalu.

Rekomendasi