Pasang Surut Relasi Legislatif-Eksekutif

| 30 Sep 2019 14:13
Pasang Surut Relasi Legislatif-Eksekutif
Rapat Paripurna DPR (Mery/era.id)
Jakarta, era.id - Relasi DPR dan pemerintah sepanjang 2014-2019 ditandai dengan dinamika antar fraksi, antar koalisi, dan DPR sebagai lembaga dengan pemerintah.

Pada awal periode, relasi DPR dan pemerintah tak terlihat menonjol karena DPR sibuk sendiri soal rebutan kursi pimpinan yang membawa relasi KMP-KIH terjebak dalam ketegangan.

PDIP melalui revisi UU MD3 awalnya dijatahi kursi wakil ketua di semua Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Selanjutnya PPP, PAN, dan Golkar masing-masing mendapatkan jatah di kabinet setelah akhirnya merapat ke koalisi.

Dominasi parpol pendukung pemerintah di dalam parlemen pasca-bergabungnya PAN, PPP, dan Golkar akhirnya menjadikan DPR seperti "tukang stempel" pemerintah ala Orde Baru.

"Ribut-ribut dengan pemerintah lebih sering hanya sandiwara tawar menawar politik saja," ujar peneliti Formappi, Lucius Karus, Senin (30/9/2019).

Menurut Lucius, ada salah kaprah dalam pemahaman atau orientasi menjalankan lembaga DPR, seperti terjadinya dikotomi antara oposisi dan pendukung pemerintah dalam sistem presidensial. Seharusnya DPR menjadi satu lembaga yang bulat ketika berhadapan dengan pemerintah. 

"Di dalam menjalankan fungsi-fungsi utamanya, legislasi, anggaran, dan pengawasan, DPR harus bersikap profesional, yakni mendukung kebijakan pemerintah yang baik untuk kepentingan rakyat, dan mengkritisi kebijakan yang sebaliknya," sambungnya.

Beberapa RUU yang sedang dibahas pada periode ini seperti UU MD3, UU Pemilu, UU KPK, RKUHP, RUU Pemasyarakatan, dan mengembalikan GBHN dengan amandemen UUD 1945, menunjukkan adanya kecenderungan politik legislasi untuk melayani kepentingan elite.

"Revisi berulang kali terhadap UU MD3 ini menjadi salah satu bukti lemahnya produk legislasi buatan DPR. Mereka yang bersepakat sebelumnya, mereka sendiri yang mengangkangi sesudahnya," ucapnya.

Sedangkan upaya revisi terhadap UU KPK sudah dicoba sejak tahun 2010. Pada era kedua pemerintahan SBY tersebut, upaya revisi gagal terlaksana.

Pada periode pertama Jokowi, upaya revisi UU KPK sudah muncul saat pembahasan Prolegnas 2014-2019. Keinginan itu disepakati dengan terus memasukan agenda revisi sebagai bagian dari daftar RUU Prioritas pada tahun 2015 dan 2016. Geliat melakukan revisi muncul lagi bersamaan dengan proses hukum terhadap Setya Novanto pada 2017, juga Pansus Angket KPK yang salah satu rekomendasinya menginginkan revisi UU KPK.

Sedangkan proses pembahasan RKUHP juga sudah lama. Proses yang panjang itu nampaknya belum juga bisa mematangkan kaidah-kaidah hukum yang diatur di dalamnya. Berbagai pengaturan di dalam RKUHP memunculkan pro dan kontra.

Beberapa pasal yang dikhawatirkan rentan mengkriminalisasi kelompok masyarakat tertentu yakni tentang anak, perempuan, kelompok miskin, orang dengan disabilitas, masyarakat hukum adat, penghayat kepercayaan, dan lainnya.

Kini DPR periode 2014-2019 melempar pembahasan RUU KUHP; RUU Pertanahan, RUU Mineral dan Batu Bara (Minerba), RUU Perkoperasian serta RUU Pengawasan Obat dan Makanan kepada periode selanjutnya.

Keputusan itu diambil setelah pimpinam DPR dan seluruh pimpinan fraksi serta komisi melakukan rapat Badan Musyawarah (Bamus) terkait usulan penundaan atau carry over beberapa RUU. Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, penundaan RUU tersebut juga terkait dengan beragam protes dari publik dan perkembangan situasi terkini.

Tags : ketua dpr
Rekomendasi