Irak Mencekam Usai Demonstrasi Besar-besaran Anti-Pemerintah

| 03 Oct 2019 17:03
Irak Mencekam Usai Demonstrasi Besar-besaran Anti-Pemerintah
Aksi demonstrasi yang berujung kerusuhan di Irak. (Ahmad Al-Rubaye/AFP via Twitter)
Jakarta, era.id - Protes yang berujung kerusuhan telah melanda sejumlah wilayah di Asia termasuk Hong Kong dan Indonesia. Tapi beberapa hari ini, aksi protes anti-pemerintah juga mengguncang Irak.

Ribuan orang dilaporkan telah turun ke jalan dalam dua hari belakangan. Mereka memprotes korupsi, kegagalan memenuhi layanan publik, serta tingginya pengangguran. Aksi protes yang pecah pada 1 Oktober ini juga telah menyebar ke seluruh wilayah Irak dan menyebabkan sembilan orang tewas dalam kurun waktu 24 jam.

Dikutip AFP, enam orang pendemo tewas dan seorang polisi tertembak mati di wilayah selatan Kota Nasiriyah. Sementara itu, dua lainnya tewas dalam aksi protes yang berujung kekerasan di Baghdad dan lebih dari 400 orang terluka dalam protes skala nasional itu.

Laporan terakhir yang dikutip dari Al Jazeera, Kamis (3/10/2019), korban tewas meningkat menjadi 13 orang usai dua pengunjuk rasa tewas dalam upaya menyerang kantor pemerintah setempat, demikian menurut sumber terpecara layanan darurat kepada AFP.

Baca Juga: Perjuangan Tanpa Kekerasan Mahatma Gandhi

 

Pemberlakuan jam malam

Gelombang besar aksi demonstrasi yang menjatuhkan banyak korban menjadi tantangan besar dalam pemerintahan Perdana Menteri Irak Adil Abdul-Mahdi. Ia secara kontroversial menyalahkan kekerasan yang terjadi pada penyerang di antara pengunjuk rasa.

Hal ini membuatnya memerintahkan larangan pergerakan di seluruh wilayah Baghdad mulai pukul 05.00 pagi waktu setempat untuk membendung demonstrasi terbesar sejak aksi protes di Kota Basra tahun lalu.

"Semua kendaraan dan individu sama sekali dilarang untuk keluar dari Baghdad mulai pukul lima pagi hari ini sampai pemberitahuan lebih lanjut," ujar Abdul Mahdi dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Al Jazeera, Kamis (3/10/2019).

Dikatakan, mereka yang bepergian ke dan dari bandar udara Baghdad hanyalah ambulans, karyawan pemerintah di rumah-rumah sakit, departemen-departemen kelistrikan dan air, serta jemaah dibebaskan dari larangan keluar rumah tersebut.

 

Jam malam juga diberlakukan di tiga kota yaitu Nasiriya, Amara, dan Hill. Abdul Mahdi juga mengatakan bahwa pemimpin di provinsi lain diberikan izin untuk memberlakukan jam malam jika memang diperlukan.

Baca Juga: Merenungi Aparat yang Masih Belum Bersahabat dengan Jurnalis

Hari ini suasana mencekam sangat terasa di ibu kota Irak itu, sejumlah mobil pasukan keamanan terlihat berpatroli. Sementara itu, sekitar dua kilometer dari Laparan Tahir --titik utama aksi protes terdengar suara tembakan secara sporadis, demikian penuturan salah satu warga Irak, Imran Khan kepada Al Jazeera.

Masyarakat Irak mengaku khawatir akan lebih banyak massa yang datang untuk bergabung dalam aksi protes setelah pemimpin Syiah berpengaruh, Muqtada al-Sadr menyerukan pemogokan umum. 

"Kami menginginkan pekerjaan dan layanan publik yang lebih baik. Kami telah menuntutnya selama bertahun-tahun dan pemerintah tidak pernah menanggapi," kata Abdallah Walid, pria 27 tahun, dikutip dari CNN.

Ledakan di Zona Hijau

 

Tak hanya jam malam, ketegangan juga diperburuk oleh diputusnya jaringan internet, penutupan kantor pemerintahan, dan sebuah ledakan yang yang menghantam Zona Hijau --tempat sejumlah kementerian dan kedutaan berada.

"Akses ke daerah itu sepenuhnya dijaga sampai pemberitahuan lebih lanjut," kata sebuah sumber pemerintah kepada AFP.

Zona Hijau tidak dapat diakses oleh sebagian besar warga Irak sejak invasi pimpinan AS ke Irak pada 2003, tetapi telah dibuka kembali untuk umum pada Juni. Titik ini sering menjadi fokus kemarahan publik, termasuk pada 2016 ketika para pendukung ulama Moqtada Sadr menyerbunya dan melumpuhkan lembaga-lembaga negara. 

Sementara itu, Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) telah meminta pihak berwenang di Irak untuk menahan diri. Perwakilan khusus PBB, Jeanine Hennis-Plasschaert menyatakan sikap atas protes yang terjadi.

"Setiap individu memiliki hak untuk berbicara secara bebas sesuai dengan hukum," kata Jeanine Hennis-Plasschaert.

Tags : demo
Rekomendasi