Menurunkan Konflik Sosial dengan Dialog Dianggap Tak Cukup

| 09 Oct 2019 14:51
Menurunkan Konflik Sosial dengan Dialog Dianggap Tak Cukup
Ilustrasi (Pixabay)
Jakarta, era.id - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengklaim berhasil menurunkan angka konflik sosial di tengah masyarakat. Dari rilis Capaian Lima Tahunan Kemendagri, disebutkan sejak tahun 2014 hingga 2019 Kemendagri mencatat terdapat 357 konflik sosial yang terjadi di Indonesia. 

Namun, ketika dilihat tiga tahun belakangan, angka konflik sosial selama tiga tahun belakangan. Secara berurutan, pada 2014 tercatat 83 konflik sosial, lalu 2015 terdapat 58 konflik sosial, dan 2016 terdapat 68 konflik sosial.

Kemudian, tahun 2017 tercatat ada 78 konflik sosial di masyarakat tapi kemudian turun di tahun 2018 hingga di angka 47 konflik. Selanjutnya di tahun 2019, angka ini semakin menurun hingga di bulan Juli tercatat hanya ada 23 konflik sosial yang terjadi di tengah masyarakat.

Rilis ini menyebut, angka konflik sosial terus menurun karena ada penguatan forum dialog pubik dan deteksi dini dari Tim Terpadu Penanganan Konflik Sosial. Tim ini bertugas menangani dan mengatasi konflik dengan cara berdialog.

Hanya saja klaim penurunan konflik sosial dengan cara berdialog dianggap Pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI) Donny Gahral tidaklah cukup. Sebab, menurut dia akar dari konflik sosial sebenarnya disebabkan kecemburuan sosial di antara masyarakat.

Selain itu, berkaca dari kasus di Wamena, Papua yang menimbulkan korban jiwa, konflik sosial didasari karena adanya ketidaksetaraan antara penduduk pendatang dengan penduduk lokal.

"Penyelesaian (konflik sosial) itu harus multidimensi juga. Kalau hanya dialog tapi akar masalah yaitu kesenjangan ekonomi tidak dibenahi, ya tidak berefek apa-apa," kata Donny saat dihubungi era.id, Rabu (9/10/2019).

Dia mengatakan, Kemendagri boleh saja menyebut penurunan angka konflik sosial sebagai salah satu pencapaiannya. Hanya saja, dia menilai, yang dilihat sebagai acuan penurunan konflik bukan hanya dari kuantitasnya saja. Tetapi, kualitas dari penyelesaian konflik tersebut harusnya lebih diperhatikan.

Apalagi, menurut Donny, konflik yang terjadi baru-baru ini sebenarnya mengalami kenaikan kualitas. Sebab, pemicunya bukan lagi masalah non-politik seperti SARA melainkan karena isu politik di tengah masyarakat.

Setelah reformasi, kata Donny, sebenarnya ada dua hal penyebab konflik sosial. Pertama, yang ditimbulkan karena hal non-politis seperti peristiwa di Kabupaten Sambas, Kalimantan pada 1999. Konflik ini melibatkan masyarakat adat Dayak dengan pendatang dari Madura, Jawa Timur. 

Kedua, konflik sosial karena politik. Contohnya, kasus kerusuhan yang terjadi di Papua beberapa waktu lalu. "Yang terjadi di Papua misalnya, itu adalah konflik politis karena bukan cuma membawa persoalan pendatang tapi juga ada isu separatisme Papua Merdeka. Jadi itu jelas berbeda," ungkapnya.

Karenanya, menurut dia, mengedepankan dialog dalam menyelesaikan konflik sosial dianggap hanya memadamkan api di permukaan tapi tidak di akarnya.

"Kalau konflik antar masyarakat saja tanpa ada isu politik apapun, mungkin mudah diredam. Tapi kalau ada isu politiknya, separatisme, itu memang perlu perhatian tersendiri. Apalagi sudah ada korban jiwa seperti apa yang terjadi di Wamena baru-baru ini," kata dia.

Rekomendasi