Eka merasa ada yang aneh dengan kabar tersebut. Ia bertanya kepada dirinya sendiri tentang komitmen pemerintah terhadap kerja-kerja kebudayaan: "Seserius apa Negara memberi apresiasi kepada pekerja sastra dan seni, dan pegiat kebudayaan secara umum?"
Penulis novel Cantik Itu Luka tersebut kemudian mendalami pertanyaannya, dan mencatat cara-cara negara memperlakukan kerja kebudayaan. Catatan yang Ia sebut sebagai 'dosa negara kepada kebudayaan' itu, menjadi alasan menolak penghargaan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Baca Juga : Tiga Film Indonesia Bersaing di Festival Film Internasional Tokyo
Eka menulis, setidaknya ada dua dosa negara kepada kebudayaan: perampasan buku dan pembajakan. Dua isu itu, menurutnya, terjadi di Indonesia dan dianggap sebagai sesuatu yang serius. Karena itu, Ia memandang, menerima anugerah dari Kemendikbud adalah semacam 'anggukan kepala' terhadap dosa negara.
Soal perampasan buku, Eka mencatat, beberapa waktu lalu toko-toko buku kecil digeruduk dan buku-bukunya dirampas oleh aparat. Menurut dia, itu kasus yang sering terjadi, dan kemungkinan akan terjadi lagi nantinya. "Bukannya memberi perlindungan kepada perbukuan dan iklim intelektual secara luas, yang ada justru Negara dan aparatnya menjadi ancaman terbesar," kata dia.