Terbitnya SKB ini mendapat banyak kritikan dari sejumlah pihak. Pasalnya, dalam salah satu poin yang tercantum di dalamnya menyebutkan: Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah.
Peraturan tersebut dinilai sejumlah pihak sebagai sebuah kemunduruan demokrasi dan berpotensi menyajikan kembali wajah orde baru dengan riasan baru.
Menteri yang meneken SKB ini adalah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Agama Fachrul Razi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, dan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate.
Selain itu ada pula Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Suhardi Alius, Kepala Badan Kepegawaian Negara Bima Haria Wibisana, Pelaksana tugas Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Hariyono, dan Ketua Komisi ASN Agus Pramusinto.
DPR Tolak SKB
Ketua DPP PDIP Puan Maharani menilai terbitnya SKB 11 instansi itu sebagai sebuah kemunduran dari buah reformasi yang susah payan diperjuangankan.
"PDI Perjuangan sudah menyampaikan bahwa itu akan kembali ke zaman, set back lah, ke belakang," ujar Puan di Plaza Senayan, Jakarta, Senin (25/11/2019).
Puan yang juga Ketua DPR RI berencana akan membicarakan soal penerbitan SKB tersebut dengan Komisi II DPR RI karena mayoritas fraksi di DPR menyatakan menolak terbitnya SKB itu.
"Sembilan fraksi sudah menyatakan pendapatnya masing-masing. kita harus kaji kembali, bicarakan kembali di Komisi II. Jadi, sikap semua fraksi sebagian besar menyampailan, bahwa itu sebaiknya tidak dilakukan," ujar Puan.
Hal senada juga disampaikan oleh politisi Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung. Ia mengimbau agar jangan sampai terbitnya SKB tersebut justru menghambat kerja ASN apalagi sampai memabatasi ekspresi seseorang.
"Jangan sampai juga SKB itu mengganggu kerja ASN gara-gara ekpresinya itu terbatas kedua masyarakat jadi terkungkung kan," ujar Doli di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (25/11).
Ketua Komisi II DPR RI ini mengatakan akan mempertanyakan poin-poin yang tercantum dalam SKB tersebut. Menurutnya, ada potensi pelanggaran hukum jika ASN ketahuan berkomentar di media sosial.
Karenanya, Komisi II akan memanggil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian untuk menanyakan SKB 11 instansi tersebut.
"Sudah dijadwalkan tgl 28 mungkin ini akan jadi salah satu yang akan kami angkat. Intinya kami ingin setiap peraturan itu lahir peraturan yang menyejukkan yang bisa menjaga kondusifitas, tidak kemudian mengundang kontroversi apalagi di masyarakat," kata Doli.
Ditemui terpisah, Anggota DPR RI Komisi II Fraksi Gerindra Sodik Mudjahid mengatakan SKB terebut membatasi kebebasan berpendapat para ASN. Ia menilai hal ini justru membawa kemuduran demokrasi yang kini sudah reformasi kembali ke era Orde Baru.
"Saya jadi teringat pegawai negeri zaman orde baru. Nanti jangan jangan, nanti pemilu pun dilaksanakan di kantornya. Ini sesuatu yang harus kita waspadai sebuah kemunduran dari rezim ini menuju ke rezim yang selama ini dengan kata katanya kita gulingka," ujar Sodik.
Menurutnya, SKB itu juga bertentangan dengan reformasi birokrasi yang selama ini menjadi slogan pemerintah. Namun aturan SKB yang sudah masuk dalam ranah pribadi seperti tidak bolehnya ASN mengakses media sosial secara berlebihan, dinilai Sodiq sudah termasuk tindakan represif.
Jawaban Pemerintah
Menanggapi banyaknya kritikan dan penolakan terhadap terbitnya SKB 11 instansi pun mendapat tanggapan dari pihak pemerintah.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung membatah jika SKB tersebut mengekang kebebasan berpendapat seseorang, terlebih ASN yang mengkritik disamakan dengan tindakan radikal. Ia menegaskan, pemerintah tak pernah melarang seseorang untuk melakukan kritik.
Pramono mengatakan, ibarat obat, kritik adalah obat kuat bagi pemerintah. Karenanya, pemerintah tak pernah alergi terhadap kritikan.
"Oh enggak, kritik kepada pemerintah itu wajib. Karena pemerintah itu menjadi semakin kuat kalau kritik kuat. Pemerintah sama sekali tidak alergi terhadap kritik," ujar Pramono di Istana Presiden, Jakarta, Senin (25/11).
Ia menegaskan ada perbedaan antara memberi kritikan dengan ujaran kebincian. Pramono mengatakan pemerintah hanya tak ingin jika ujaran kebencian menjadi konsumsi sehari-hari.
Sementara, menurutnya, ASN punya mekanisme sendiri jika ingin mengkritik pemerintah.
"Kritik dari ASN kan ada mekanismenya. ASN beda dengan yang lain karena ada aturan main yang atur ASN," kata Pramono.
Sementara Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Hariyono menyebut saat ini memang masih banyak ASN yang kerap menyebarkan ujaran kebencian meskipun sudah ada imbauan dari atasannya. Namun, teguran tersebut lebih sering tak diindahkan.
Karenanya, Hariyono menyarankan agar pemerintah perlu melakukan tindakan tegas terhadap ASN yang masih membandel dengan terus menyebar ujaran kebencian dan terpapar radikalisme kendati sudah diperingatkan.
"ASN terutama di medsos itu masih suka mengumbar ujaran kebencian, bahkan mencaci maki pimpinan maupun lembaga negara, kan ironis. Nah inilah yang ingin kita tertibkan," ujar Hariyono di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (25/11).