Keputusan majelis hakim ini dinilai 'masuk angin' oleh warga dan massa solidaritas yang memenuhi ruang sidang.
Putusan dibacakan majelis hakim yang dipimpin Yarwan, SH, MH, dengan hakim anggota Danan Priambada, SH, M., dan Dr. Novy Dewi Cahyati, S.Si, SH, MH. Di saat hakim belum selesai membacakan putusan, warga juga membentangkan kertas-kertas berisi penolakan terhadap proyek rumah deret yang tempo hari menimbulkan kericuhan akibat penggusuran paksa yang dilakukan Satpol PP dan aparat gabungan.
Seorang perwakilan warga, Eva Eryani Effendi menyatakan pihaknya memilih bertahan di Tamansari demi mempertahankan hak hidup yang dijamin konstitusi. Hingga kini pihaknya belum menerima sepeser pun uang kerohiman dari Pemkot Bandung sebagai ganti rugi atas penggusuran rumahnya. “Semua (hakim) masuk angin ini,” tukas Eva, ketika hakim hendak mengakhiri sidang.
Di saat Eva berbicara, hakim Yanwan mengakhiri pembacaan amar putusan, dan langsung mengetukkan palu tanda sidang ditutup. Hakim kemudian bergegas meninggalkan ruang sidang.
Sementara massa menyanyikan lagu perjuangan yang mendukung warga Tamansari dan menolak penggusuran yang dilakukan Pemkot Bandung. Massa solidaritas kompak bernyanyi hingga suasana gedung pengadilan bergemuruh.
Eva lantas menghampiri massa yang berdemonstrasi di luar gedung PTUN, Jalan Diponegoro, Bandung. Ia menyampaikan orasi tentang sikapnya terhadap keputusan PTUN yang menolak gugatan itu. “Bandung sebagai kota ramah HAM harus dicabut karena kebengisan yang dilakukan Pemkot Bandung kepada kami,” kata Eva.
Sebelumnya, majelis hakim menggelar persidangan yang penuh sesak. Sebelum menyatakan menolak terhadap gugatan warga RW 11 Tamansari, hakim terlebih dahulu membeberkan fakta-fakta hukum tentang rencana pembangunan rumah deret oleh Pemkot Bandung di lahan yang menjadi objek sengketa gugatan. Pembangunan rumah deret akan dilakukan di lahan seluas 6.616 meter persegi dengan luas bangunan 12.309 meter persegi.
Pihak tergugat (Pemkot Bandung) dinilai telah memenuhi sejumlah persyaratan untuk mendapatkan izin lingkungan, mulai dari adanya bukti dukungan warga berupa lampirkan foto kopi KTP, bukti kepemilikan tanah, bukti pemanfaatan tanah, perjanjian pemanfaatan tanah, dokumen lingkungan hidup, pernyataan tertulis tidak keberatan dari masyarakat, dan lain-lain.
Pihak tergugat juga dinyatakan telah melakukan pengumuman dan sosialisasi terkait proyek rumah deret kepada warga Tamansari, termasuk soal relokasi terhadap warga yang tergusur. Rangkaian ini terjadi pada 2017, ketika proyek ini mulai digulirkan.
Hakim menyatakan pihaknya telah memeriksa surat surat pengelolaan keuangan aset Kota Bandung, dokumen status tanah, surat keterangan dari kepala kelurahan Tamansari. Dokumen-dokumen ini sebagai persyaratan yuridis untuk mendapatkan izin lingkungan. Namun hakim menilai perizinan lingkungan tidak memerlukan sertifikat kepemilikan tanah.
“Tidak harus ada bukti sertifikat hak milik namun cukup menunjukan dengan memiliki tanda bukti pemanfaatan tanah. Sehingga penerbitan izin objek sengketa telah sesuai,” kata hakim.
Di sela pembacaan putusan, warga yang tidak sepakat langsung bereaksi dengan menyatakan, “haduh”, dan berkali-kali menyebut hakim “masuk angin” dan “bohong”. Saat itu pula warga mengacungkan tulisan “tolak rumah deret” agar dibaca majelis hakim.
Usai sidang, Kuasa Hukum warga penggugat yang juga Kepala Departemen Tanah dan Lingkungan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Gugun Kurniawan, menyatakan banding terhadap putusan hakim yang menolak gugatan warga dampingannya. Keputusan banding ini juga sesuai dengan keinginan warga RW 11 Tamansari untuk terus bertahan dan memperjuangkan keadilan.