"Saya tidak pernah marah ke Irman. Dia itu paling galak. Bisa dicek ke anak buahnya. Saya tanya juga ke Sugiharto (Administrasi Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri)," ungkap Diah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Gunung Sahari, Jakarta Pusat, Senin (29/1/2018).
Dalam persidangan itu, Diah mengaku tidak menegur Irman karena tindakannya. Hakim kemudian menilai ada kejanggalan dari keterangan tersebut. Pasalnya Diah diduga mengusulkan Irman menjadi pelaksana Dirjen Dukcapil. Alasannya, kata Diah, Irman berpengalaman menjabat eselon dua dan direktur
Persidangan itu juga mengungkap klaim mantan ketua panitia pengadaan barang dan jasa (panitia lelang proyek e-KTP) di Ditjen Dukcapil, Drajat Wisnu Setiawan, yang mengatakan Irman kerap menyuruhnya. Meskipun, lanjut Drajat, tidak sesuai dengan kapasitasnya sebagai eselon 4.
"Saudara (Drajat) seringkali bilang 'saya ini manutan dan loyal jadi disuruh menyimpang mau?'" tanya Hakim pada Drajat.
"Enggak. Tapi kalau urusan ngetik baru saya gitu. Saya eselon 4, lalu naik eselon 3," ungkap Drajat.
"Masa eselon 3 suruh ngetik?”lanjut hakim.
"Ya, memang begitu," balas Drajat.
Sidang terdakwa korupsi pengadaan e-KTP, Setya Novanto terus bergulir. Hakim meminta keterangan sejumlah saksi untuk mengungkap dugaan penerimaan 7,3 juta dolar AS dan jam tangan Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS dari proyek e-KTP kepada Novanto.
Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu diduga menerima 7,3 juta dolar AS dari keponakannya yang menjabat sebagai pemilik OEM Investmen Pte.LTd dan Delta Energy Pte.Lte, serta mantan menjadi direktur PT Murakabi Irvanto, Hendra Pambudi Cahyo.
Sementara jam Richard Mille merupakan kompensasi Andi Agustinus alias Andi Narogong dan direktur PT Biomorf Lone Indonesia Johannes Marliem atas dilancarkannya penganggaran proyek e-KTP. Total kerugian negara dari mega korupsi e-KTP itu senilai Rp2,3 triliun.