"Hukum harus melindungi seluruh masyarakat tidak hanya kelompok-kelompok tertentu," kata wakil ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah di Kantor Komnas Perempuan, Jalan Lutuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (7/2/2018).
Ada empat fokus perhatian Komnas Perempuan terkait RKUHP tersebut, yakni perluasan zina, pemidanaan hidup bersama, perluasan cabul, dan hukum yang hidup di masyarakat.
Komnas Perempuan menyebut potensi kriminalisasi tak hanya menyasar kelompok LGBT, tetapi juga kelompok lain.
Komnas Perempuan juga mengkritisi Pasal 484 ayat 1 huruf e yang berbunyi "Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan," dan Pasal 484 ayat (2) yang berbunyi "Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri atau pihak ketiga yang tercemar".
Yuniyanti menilai konsekuensi hukum dari rumusan Pasal 484 ayat (1) huruf e dan Pasal 484 ayat (2) yang mengatur zina (fornication) sebagai delik aduan menjadi delik biasa, akan berpotensi mengkriminalkan pasangan yang tidak memiliki surat nikah dari pemerintah karena berbagai alasan.
Media Briefing Komnas Perempuan. (7/2/2018) (Yasir/era.id)
"Misalnya perkawinan yang dilakukan oleh penghayat kepercayaan, atau pasangan yang tinggal di daerah terpencil yang sulit mendapatkan akses ke layanan pemerintah," kata Yuniyanti.
Ia menambahkan, seharusnya negara lebih dahulu menunaikan kewajiban dalam pemenuhan hak sipil warga negara atas perkawinan dan infrastruktur, terutama di daerah terpencil.
"Contohnya di Tapanuli Utara, perlu menempuh 6 jam terpaksa banyak yang tidak mencatatkan perkawinannya," jelasnya.
Berkenaan dengan hal itu, Komnas Perempuan menuntut DPR untuk menunda RKUHP yang menurutnya perlu dilakukan revisi pada beberapa pasal.
"Komnas Perempuan menuntut ada penundaan RKUHP. DPR perlu meminta masukan sebanyak mungkin kepada stakeholder dan melakukan kajian-kajian," pungkas dia.