Hinca menyarankan agar program asimilasi juga diberikan untuk narapidana kasus narkotika, dalam hal ini adalah penggunanya. Sementara, bandar atau pengedar dan kurir tidak termasuk dalam pertimbangan asimilasi.
"Kementerian Hukum dan HAM perlu melakukan terobosan, lewat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, agar program (asimilasi) yang berikutnya dipertimbangan pada pengguna dan korban narkoba," kata Hinca dalam rapat kerja dengan Menkumham di Gedung Parlemen, Senin (22/6/2020).
Pertimbangan ini kata Hinca, setelah melihat fakta yang ada yakni dari 40.020 narapidana yang mendapatkan asimilasi dan integrasi semasa pandemi COVID-19, sebanyak 222 di antaranya kembali melakukan tindak kriminal. Artinya, kata Hinca, 0,6 persen napi asimilasi kembali melakukan tindak pidana.
Berdasarkan data yang dimiliki Kemenhumham, setengah dari mantan narapidana asimilasi yang mengulangi tindak kriminal adalah kasus pencurian. Mereka, kebanyakan memiliki sifat kleptomania, atau keinginan untuk mencuri yang tidak dapat ditahan.
Sementara, tahanan paling banyak berasal dari kasus narkotika. Per tanggal 15 Juni lalu, jumlah tahanan kasus narkotika ada 124.448 orang. Padahal, kapasitas yang 528 di lapas dan rutan hanya mampu menampung 132.107 napi.
"Kalau kita kita lihat jumlahnya (narapidana narkotika) yang dapat asimilasi itu hanya 38 orang, sementara yang membuat over capacity di situ adalah pengguna narkoba," kata dia.
Karenanya, Hinca menyarankan agar asimilasi lebih banyak diberikan kepada pengguna narkotika.
"Ini kita menyelamatkan dua sekaligus. Satu, over crowdednya (kelebihan kapasitas). Dua, untuk mengantisipasi atau memutus penularan virus korona ini," kata Hinca.
Menanggapi hal itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan akan mempertimbangkan untuk memperbanyak asimilasi untuk pengguna narkoba. Hal ini akan ditindaklanjuti lewat keputusan bersama antara Badan Narkotika Nasional, Kejaksaan, dan Polri.
"Untuk (narapidana) yang betul-betul pemakai, ya sudah, (prosesnya) asesmen, masuk, dan keluar. Karena, (keberadaan narapidana narkoba) di dalam juga akan menjadi persoalan buat kita. Negara menanggung biaya Rp1,9 triliun untuk makan," ungkap Yasonna.