Pemerintah Didesak Transparan Soal Data COVID-19 dan Tes PCR

| 06 Jul 2020 14:24
Pemerintah Didesak Transparan Soal Data COVID-19 dan Tes PCR
Ilustrasi pasien rapid test
Bandung, era.id - Koalisi Warga untuk LaporCovid-19, Ahmad Arif, mencuit di akun Twitternya tentang sejumlah kepala daerah yang menekan tenaga kesehatan agar mengutamakan rapid test dan mengurangi tes Polymerase Chain Reaction (PCR) demi mengurangi angka kasus positif COVID-19.

Adanya dugaan intervensi dari kepala daerah terhadap tenaga kesehatan dibenarkan Irma Hidayana, Perwakilan Koalisi Warga untuk LaporCovid-19. Menurutnya, intervensi ini justru akan menjadi kontraproduktif di tengah upaya pengendalian pandemi COVID-19.

Di sisi lain, Irma tidak menampik kabar intervensi atau ‘tekan-menekan’ ini menuai kontroversi, bahkan ada pihak yang menyebutnya sebagai tudingan atau kabar simpang siur.

Untuk menghindari polemik, Irma berharap pemerintah pusat turun tangan untuk menghadirkan transparansi data dengan mengeluarkan hasil tes PCR setiap hari yang dilakukan di setiap kabupaten/kota di Indonesia.

Sehingga, semua data dan angka pasien serta sebarannya bisa dikorelasikan dengan jumlah PCR yang dirilis secara nasional per harinya.

“Jadinya kan mudah ketahuan, ya. Kalau tesnya kecil, ya pantas saja yang positif kecil,” katanya.

“Intinya transparan saja.”

Selain mengumumkan jumlah tes PCR per hari di kabupaten/kota, pemerintah daerah juga diminta mengumumkan angka kematian umum non-COVID-19.

“Untuk melihat lebih dalam dan luas lagi, secara logika, jika memang tes kecil, lalu jumlah angka kasus kecil, tapi angka kematian relatif lebih tinggi dari sebelum masa pandemi, jadi kita bisa lebih mudah menarik kesimpulan,” terangnya.

Transparansi, kata Irma, menjadi kunci dalam pengendalian korona. Tanpa transparansi, jangan harap suatu daerah pandemi bisa bebas COVID. Transparansi data juga berkorelasi dengan kecepatan pengendalian.

“Dengan transparansi statistik data ODP, PDP, dan positif sehat/sembuh meninggal yang disertai jumlah tes PCR tiap hari, harusnya memicu tiap daerah untuk mengupayakan testing yang proporsional."

"Kalau hasil testing masih menunjukkan angka temuan kasusnya masih banyak, artinya ya otoritas setempat harus mengendalikannya lebih ketat. Misalnya PSBB lokal, dan seterusnya,” papar Irma.

Soal hasil rapid test hingga membuat pemerintah membuat kebijakan pengendalian, Irma Hidayana menganggapnya tidak efektif. Alasannya, rapid test bukan alat diagnosa, melainkan hanya untuk pelacakan kontak.

“Namun sayang sekarang yang terjadi banyak ditawarkan rapid test di mana-mana. Bikin mislead dan misinformasi tentang fungsinya yang tidak mampu mengidentifikasi adanya Virus SARS CoV 2,” tandasnya.

Kini, pihaknya terus mendorong pemerintah untuk fokus melakukan PCR. “Dengan alokasi dana yang cukup besar mestinya bisa dong ya. Satu lagi mendorong tes PCR dilakukan di seluruh wilayah Indonesia secara proposal, tentu dengan mengutamakan episenter. Dan pemerintah harus buka data tes PCR per hari di tiap wilayah, bukan hanya secara nasional.”

Dari sisi medis, ahli epidemologi dr Panji Hadisoemarto bilang, alat rapid test kebanyakan berbasis antibodi dan dipakai untuk mendeteksi orang terinfeksi COVID.

Sebagai gambaran, tubuh orang yang terinfeksi virus akan mengeluarkan antibodi untuk melawan virus tersebut. Jika orang ini dites dengan rapid test, maka yang dideteksi adalah antibodinya yang menandakan bahwa ada virus dalam tubuh orang yang dites tersebut.

Sementara antibodi sendiri, kata dr Panji, baru diproduksi tubuh ketika sekitar tujuh hari setelah terinfeksi atau sakit. Sehingga akurasi rapid test sangat tergantung pada waktu rapid test dilakukan.

Jika rapid test dilakukan sesudah tujuh hari terinfeksi, maka hasilnya bisa positif. Sebaliknya, jika tes dilakukan sebelum 7 hari terinfeksi, rapid test tidak akan bisa mendeteksinya karena antibodi belum terbentuk.

“Kalau ada orang baru sakit satu hari, antibodinya belum terdeteksi sehingga hasil RDT-nya akan negatif,” katanya, saat dihubungi Era.id, Minggu (5/7/2020).

Untuk mendeteksi virus sejak hari pertama terinfeksi, baiknya menggunakan PCR yang hasilnya bisa 100 persen akurat. Sebaliknya, orang yang positif berdasarkan hasil PCR bisa tidak terdeteksi positif oleh hasil rapid test.

“Kalau pasien (PCR) ini diskrining dengan RDT, ada kemungkinan akan lolos dan dianggap tidak sakit,” terang dokter yang menjadi bagian dalam Koalisi Warga untuk LaporCovid-19.

Pemeriksaan dengan rapid test malah dianggapnya bisa jadi pemborosan dalam perang melawan COVID, sementara hasilnya tidak akurat dan bisa merugikan pasien.

Contohnya, orang yang positif berdasarkan rapid test, padahal bisa jadi orang ini tidak sakit, tetapi tetap harus menjalani isolasi mandiri selama 14 hari.

Kendati demikian, rapid test dianggap tidaklah buruk amat. Ia bisa dipakai dalam konteks survey serologis atau untuk diagnosis penyakit oleh tenaga medis.

“Tapi saya rasa memang tidak bermanfaat kalau dipakai untuk skrining seperti sekarang (musim pandemi),” katanya.

Lebih luas, dari hasil rapid test ini terbentuklah data yang tidak akurat, menghasilkan pengendalian tidak tepat sasaran, banyak kasus positif yang terlewatkan, penularan tak terkendali, dan seterusnya.

“Kalau menggunakan rapid test untuk skrining, kita berpotensi melewatkan kasus-kasus positif, karena sensitivitas rapid tidak tinggi. Artinya, kemungkinan false negative cukup besar. Dan sebaliknya, yang positif belum tentu menular (karena kasus yang ditemukan adalah false positive),” terangnya.

Karena itulah, Panji lebih merekomendasikan pendeteksian dan pengendalian COVID dengan metode PCR yang hasilnya lebih akurat.

Rekomendasi