ERA.id - Batas tertinggi biaya yang harus dikeluarkan warga kalau mau melakukan Real Time Polymerase Chain Reaction (RT PCR) secara mandiri adalah Rp900 ribu. Yang jadi pertanyaan, apa sanksi pemerintah terhadap rumah sakit yang bandel melanggar aturan itu.
Saat konferensi pers, Satuan Tugas Penanganan COVID-19 'cuma' meminta rumah sakit dan layanan kesehatan lainnya tidak memasang tarif tes diagnosa COVID-19 dengan PCR melebihi Rp900 ribu. Hal itu sudah diatur dalam Surat Edaran Kementerian Kesehatan nomor HK. 02.02/I/3713/2020.
"Kami meminta agar faskes yang melayani tes usap mandiri untuk mematuhi surat edaran Kementerian Kesehatan, dan transparan dengan pembiayaan pelayanan kesehatan demi meminimalisir fraud (penyalahgunaan)," kata Juru Bicara Satgas COVID-19 Wiku Adisasmito di Jakarta, Kamis (8/10/2020).
Sebagai informasi, angka Rp900 itu cuma berlaku untuk tes usap yang dilakukan masyarakat secara mandiri atau karena keinginan sendiri. Beda hal kalau berkaitan dengan penelusuran kontak.
Batasan tarif tertinggi itu tidak berlaku untuk kegiatan penelusuran kontak atau rujukan kasus COVID-19 ke rumah sakit yang penyelenggaraannya mendapatkan bantuan pemeriksaan RT-PCR dari pemerintah, atau merupakan bagian dari penjaminan pembiayaan pasien COVID-19.
“Apabila RT PCR merupakan hasil penelusuran kontak, maka pembiayaannya dijamin pemerintah,” ujar Wiku.
Surat Edaran nomor HK. 02.02/I/3713/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) itu disahkan Kemenkes pada 5 Oktober 2020.
Penetapan standar tarif tertinggi pemeriksaan RT-PCR melalui pembahasan secara komprehensif antara Kemenkes dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dengan mempertimbangkan komponen jasa pelayanan, komponen bahan habis pakai dan reagen, komponen biaya administrasi, dan komponen lainnya.
Besaran standar tarif tertinggi itu juga akan dievaluasi secara periodik dengan memperhitungkan perubahan harga dalam komponen pembiayaan.