Dramaturgi Novanto dan Fredrich dalam Korupsi e-KTP
Dramaturgi Novanto dan Fredrich dalam Korupsi e-KTP

Dramaturgi Novanto dan Fredrich dalam Korupsi e-KTP

By Yudhistira Dwi Putra | 09 Feb 2018 15:50
Jakarta, era.id - Mantan kuasa hukum Setya Novanto, Fredrich Yunadi didakwa perintangan penegakan hukum (obstruction of justice) dalam korupsi e-KTP. Pada surat dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, jaksa penuntut umum (JPU) membeberkan rekayasa pelarian Novanto lewat 'sutradara' Fredrich.

Dalam surat dakwaan, Fredrich dianggap sebagai orang yang menyusun skenario drama pelarian Novanto. Mulai dari mangkir hingga insiden tiang listrik yang melahirkan ribuan meme bernuansa satire.

Dalam teori ilmu sosiologi, aksi Novanto, Fredrich dan seluruh pemain pendukung yang terlibat dalam skenario obstruction of justice e-KTP dapat diidentifikasi sebagai teori dramaturgi milik Erving Goffman.

Teori itu menjelaskan situasi di mana sebuah lingkungan dapat menciptakan peristiwa-peristiwa buatan menjadi satu cerita yang diproyeksikan sebagai kehidupan nyata. Setiap orang yang jadi bagian lingkungan itu memainkan berbagai peranan untuk mendukung mengalirnya plot cerita.

Menurut sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), AB Widyanta, teori dramaturgi sangat cocok diterapkan dalam ekosistem politik dan hukum.

"Karena dia memainkan antara front stage dan back stage. Di ruang publik dia ngomong begini, di belakang dia ngomong begini. Kalau dalam teori dramaturginya Erving Goffman sangat bisa dimainkan proses-proses dalam hukum politik," ungkap Widyanta saat dihubungi era.id, Jumat (9/2/2018).

Widyanta menambahkan, fenomena seperti TeleNovanto ini tak hanya ditemui di Indonesia. Di sejumlah negara, banyak pelaku kriminal yang menggunakan cara serupa untuk melarikan diri dari jerat hukum. 

Novanto dinilai mencoba bermain dengan aturan hukum yang berlaku, yang dalam teori sosiologi biasa disebut sebagai exercise power. Hal ini dapat terjadi akibat proses demokrasi yang belum mencapai titik matang, saat hukum belum jadi panglima tertinggi.

“(Drama Novanto) akrobat politik dalam permainan hukum, karena selama ini memang hukum masih bisa dibeli segala macam. Artinya ini proses playing saja, bahwa mereka (komplotan Novanto) bermain-main dengan hukum, mereka berakrobatik agar terhindar dari punnishment,” kata Widyanta.

TeleNovanto (Infografis: era.id)

Tags :
Rekomendasi
Tutup