ERA.id - Kaka beradik, Nolin dan Adel, Siswi SMPN 16 Sigi, Sulawesi Tengah, selalu kerepotan jika ingin memulai pendidikan jarah jauh (PJJ). Desanya tidak memiliki akses internet. Keduanya pun tak punya perangkat gawai untuk belajar.
Pandemi COVID-19 memang telah mengubah banyak hal, termasuk dalam masalah belajar-mengajar. Alternatifnya, pemerintah menerapkan metode PJJ dengan memanfaatkan teknologi internet dan gadget untuk belajar jarak jauh.
Sayangnya, tak semua siswa bisa dengan mudah mendapat fasilitas itu. Nolin dan Adel contohnya. Setiap pagi --sebelum mulai belajar-- keduanya harus pergi ke Desa tetangga, yang jaraknya kurang lebih lima kilometer dari rumah mereka.
"Di sini memang belum ada akses internet," tutur Nolin, dikutip Antara, Jumat (24/7/2020).
Belum lagi mereka cuma punya satu perangkat gawai dan itu pun dipinjam dari tetangganya. Handphone yang dipinjami tetangganya tersebut kemudian mereka pakai bergantian selama belajar daring.
"Saya kelas sembilan (3), kalau adik saya kelas delapan (2). Jadi kalau mau belajar online itu, HP-nya dipakai ganti gantian. harus ke Desa sebelah yang ada towernya juga kalau mau belajar."
Ekonomi menjadi kendala utamanya. Kedua orang tua Nolin dan Adel hanya berprofesi sebagai petani, yang penghasilanya tidak menentu. Adel mengaku telah mengeluarkan uang sebanyak Rp500 ribu untuk digunakan mengisi pulsa data internet setiap belajar daring.
"Sudah ada lima ratus ribu mungkin untuk isi pulsa. Untuk ikut belajar," ujar dia.
Pagi itu, Rabu (22/7) wajah sumringah terpancar dari kedua kakak beradik ini. Gurunya datang ke rumah mereka yang ada di Desa Tongoa, Dusun Dongi-Dongi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Mereka datang ke rumah Nolin dan Adel untuk memberikan modul yang berisikan materi pembelajaran serta soal latihan. Ini jadi salah satu cara yang dilakukan pihak sekolah kepada para siswa yang sulit mengikuti belajar daring. Meskipun, pihak sekolah mengaku sistem pembelajaran ini tidak begitu efektif.
"Sistem seperti ini tidak begitu efektif. Contohnya, tadi saja ada yang bertanya, ibu bagaimana menjawab soal ini. Karena kami juga tidak dibolehkan untuk tatap muka langsung secara lama dengan murid murid," ujar Bungaria, Wakil Kepala SMPN 16 Sigi.
Sistem pembelajaran mendatangi langsung rumah siswa ini akan dilakukan pihak sekolah sebanyak tiga kali dalam seminggu.
Letak geografis juga menjadi permasalahan tersendiri. Mengingat tidak sedikit rumah siswa yang jaraknya sangat jauh, bahkan ada di luar kabupaten, seperti rumah Nolin dan Adel.
Keterbatasan anggaran pendidikan
Dinas Pendidikan setempat mengaku, selama program seperti itu diberlakukan, sekolah diperbolehkan menggunakan dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk membiayai operasional para guru. Meskipun nominalnya tidak begitu besar.
"Mereka juga diperbolehkan untuk menggunakan dana BOS sebagai operasional guru. Nominalnya tergantung jarak, kalau tidak salah, tadi mereka bilang Rp12.000," ungkap Andi Arno, Kabid Pendidikan Dasar Disdikbud Kabupaten Sigi.
Dinas pendidikan mengaku tidak bisa berbuat banyak, terkait kendala yang dialami sejumlah siswa-siswi. Keterbatasan anggaran menjadi kendala dan terpaksa kerja ekstra harus dilakukan.
Langkah efektif saat ini yang dilakukan Disdikbud Kabupaten Sigi hanya mendampingi dan memberikan dukungan kepada seluruh tenaga pengajar.
"Sistem pembelajaran saat ini hanya dua, yakni luring atau luar jaringan (off-line) dan daring/dalam jaringan. Di Kabupaten Sigi kami memilih luring karena tidak semua orang tua siswa maupun siswi memiliki handphone, bahkan hampir sebagian besar wilayah disini masih kesulitan jaringan internet," jelasnya.