ERA.id - Sejumlah pakar skeptis mengenai "ancaman keamanan nasional" dari aplikasi asal China, TikTok dan belakangan WeChat, yang dilayangkan oleh pemerintahan Donald Trump di Amerika Serikat. Banyak dugaan ini terkait gimmick pra pemilu presiden AS November nanti.
Presiden Trump mendesak aplikasi platform video singkat TikTok untuk memutuskan apakah akan menjual pengelolaan TikTok di AS kepada Microsoft atau perusahaan lainnya, atau menghadapi ancaman dilarang beroperasi di Negeri Paman Sam tersebut. Keputusan harus diambil sebelum tanggal 15 September tahun ini.
Rabu (5/8/2020) lalu, Menteri Dalam Negeri AS Mike Pompeo juga mengumumkan pelarangan aplikasi buatan China di lokapasar AS, seperti Apple Store dan Google Play Store. Berlaku 45 hari sejak diumumkan, peraturan tersebut jelas-jelas melarang dua nama: TikTok dan WeChat.
Global News : US President Trump broadly prohibits unspecified "transactions" with Chinese owners of TikTok and WeChat via executive order #ONL pic.twitter.com/TIu6qdrxat
— OdishaNewsLive (@OdishaNews_Live) August 7, 2020
Klaim dari pemerintahan Donald Trump adalah bahwa aplikasi buatan China "membahayakan keamanan nasional, kebijakan luar negeri, dan ekonomi Amerika Serikat."
Dimintai pendapatnya mengenai kebijakan AS akhir-akhir ini terhadap perusahaan teknologi China, Andy Mok, peneliti senior di Center for China and Globalization di Beijing mengatakan bahwa Amerika Serikat selalu memandang "apapun yang berbau China pasti harus dicurigai."
"Mereka disasar bukan karena apa yang telah mereka lakukan, tapi karena sosok mereka."
Pakar keamanan digital pun sepakat bahwa TikTok tidak lebih intrusif daripada aplikasi buatan AS sendiri, misalnya Facebook atau Google.
"Saya termasuk orang yang akan pertama melaporkan suatu pelanggaran privasi serius, di manapun. Namun, kita tak melihat bukti kejahatan yang jelas-jelas dilakukan TikTok," kata pakar keamanan Will Strafach kepada koran Associated Press bulan lalu. Strafach sendiri adalah perusahaan penyedia firewall bagi gawai buatan Apple.
TikTok adalah aplikasi berbagi video singkat buatan perusahaan yang berbasis di China, ByteDance. Perusahaan tersebut terus menekankan bahwa mereka tidak menyimpan informasi warga AS di luar negeri, apalagi di China. Mereka juga mengaku tak berbagi data pribadi dengan pemerintah China.
Firma riset App Annie menyebut bahwa di AS per Juli 2019, TikTok digunakan 50 juta akun aktif setiap minggu. Angka ini naik 75 persen dari minggu pertama tahun 2019.
64 and still going strong pic.twitter.com/k7QM0HwsBi
— Dr Mahathir Mohamad (@chedetofficial) August 5, 2020
Politik di tahun pemilu AS dituding menjadi penyebab pelarangan perangkat lunak buatan China. Trump berusaha untuk memanfaatkan friksi dengan China untuk menaikkan popularitasnya di antara basis pemilihnya.
Partai Republik dan Partai Demokrat di AS sendiri sama-sama menyetujui ancaman keamanan dari aplikasi buatan China. Namun, pemerintahan AS sampai saat ini tak menunjukkan bukti yang spesifik bahwa TikTok memberi data pribadi warga ke pemerintahan China.
Pemerintahan Trump kerap menuding adanya ancaman dalam kapasitas pemerintah China untuk memaksakan suatu kerja sama dengan pemerintah.
"Ini adalah perluasan isu Perang Dingin teknologi antara China dan Amerika Serikat," kata Steven Weber, dekan Berkeley Center for Long Term Cybersecurity.
Perusahaan aplikasi TikTok diharuskan membuat keputusan mengenai kelanjutan bisnisnya di AS sebelum 15 September. Sejauh ini, sudah ada beberapa perusahaan teknologi AS yang tertarik membeli TikTok, termasuk raksasa perangkat lunak komputer Microsoft.