KPK Dituding Rebut Tiket Golkar di Pilpres 2019

| 13 Nov 2017 15:01
KPK Dituding Rebut Tiket Golkar di Pilpres 2019
Fahri Hamzah, saat ditemui di Gedung DPR RI. (ZAKIYAH/era.id)
Jakarta, era.id - Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah menilai, penetapan Setya Novanto sebagai tersangka kasus megakorupsi e-KTP untuk kedua kalinya berunsur politis. Fahri menuding Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertujuan merebut peluang Golkar di pemilihan presiden (Pilpres) 2019.

“Saya melihat kasus ini mengarah kepada perebutan tiket 2019 (pilpres), ini adalah 14,7% tiket Golkar itu yang menonjol. Jadi, KPK ini dalam bill besar untuk merebut tiket Golkar. Saya meyakini itu karena buktinya fakta hukumnya tidak ada kerugian negara,” jelas Fahri di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (13/11/2017).

Terkait potensi kerugian negara terhadap kasus yang menjerat Novanto, Fahri menegaskan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah bersumpah bahwa tidak terdapat masalah dalam review pengadaan proyek e-KTP.

Sehingga, lanjut Fahri, tidak ada fakta hukum yang menyebutkan Ketua Umum Partai Golkar itu telah merugikan negara.

"BPK bilang tidak ada kerugian, hanya persoalan kurang bayar berapa miliar, dan sekarang ini kasusnya sebenarnya kasus apa, sih maksudnya? Awalnya tidak jelas." tutup Fahri.

KPK kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektronik (e-KTP), Jumat (10/11/2017).

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang yang membacakan putusan itu mengatakan, KPK sudah mempelajari putusan praperadilan saat majelis hakim Cepi Iskandar menggugurkan status tersangka Novanto pada sidang praperadilan beberapa waktu lalu di PN Jakaarta Selatan.

Lalu pada 5 Oktober 2017, KPK mengumpulkan bukti baru dan sejumlah keterangan saksi untuk pengembangan pengusutan kasus korupsi e-KTP. KPK juga sudah memanggil Novanto untuk dimintai keterangan namun yang bersangkutan tidak hadir dengan alasan yang diterima KPK adalah karena kesibukan dinas.

"KPK menerbitkan sprindik atas nama SN (Setya Novanto) bersama ASS (Anang Sugiana Sudihardjo), dan Andi Agustinus, melakukan tindak pidana diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri dan orang lain atau kedudukannya sehingga merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun," kata Saut.

Novanto disangkakan dengan Pasal 2 Ayat 1 Subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Tags :
Rekomendasi