Hoaks, Penuh Gula dan Disemuti Kepentingan

| 06 Mar 2018 11:17
Hoaks, Penuh Gula dan Disemuti Kepentingan
Ilustrasi (era.id)
Jakarta, era.id - Milo Yiannopoulos dalam satu artikelnya yang membahas hoaks menyampaikan; victimhood is profitable. Maknanya kuat dan dia sampaikan di awal tulisan yang dimuat breitbart.com.

Bagi sebagian orang, citra korban karena suatu peristiwa yang menyita perhatian cenderung memiliki kepentingan untuk mendapat status sosial hingga ekonomi.

Yiannopoulos lalu membedah kemungkinan adanya kepentingan di balik hoaks. Dia memulainya dengan hoaks ala Peisistratos (Yunani kuno) hingga skandal seks Presiden AS Donald Trump yang dianggap bermuatan politis. Dia juga menyebut beberapa hoaks bermotif ekonomi, seperti tuduhan palsu dan dilebih-lebihkan dengan maksud membangun citra terzalimi, tak berdaya, untuk meraih simpati.

Kita bisa tidak setuju dengan narasi yang dibangun Yiannopoulos, tetapi poin utamanya; cerita dengan pesan yang kuat dapat membentuk histeria massa dan digunakan untuk mencapai kepentingan tertentu.

Jika dihubungkan dengan kondisi di Indonesia, pertanyaan utamanya adalah, mengapa hoaks bisa dengan mudah bertebaran atau bahkan diterima masyarakat sebagai informasi yang seolah-olah benar?

Beragam jawaban dapat diberikan, namun satu alasan mudahnya hoaks dipercaya adalah rendahnya budaya literasi masyarakat Indonesia. Berdasarkan data Central Connecticut State University dalam World’s Most Literate Nations 2016, Indonesia berada pada posisi 60 dari 61 negara di dunia dalam hal budaya literasi.

Kondisi Indonesia yang masih tertinggal dalam urusan budaya literasi juga diamini Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho.

Nugroho menyoroti kebiasaan banyak warga di Indonesia yang sering membagikan berita tanpa mengecek kebenaran isi berita tersebut. Dalam pandangannya, fenomena ‘asal bagi’ inilah yang menyuburkan persebaran hoaks di Indonesia. Mengapa demikian?

Mari beranalogi, pada satu sisi, pembuat hoaks atau konten negatif semacam Saracen dan Muslim Cyber Army (MCA) menyediakan konten bermuatan informasi bohong tersebut. Di sisi lain, ada sejumlah pemesan konten yang tertarik membeli berita palsu itu.

Uniknya, ada tendensi di mana para pemesan diposisikan sebagai pihak yang dizalimi, tidak percaya?

Coba tengok, dari sekian banyak hoaks yang beredar dan diproduksi Saracen dan MCA, ceritanya selalu sama, ada kelompok yang terus-menerus diposisikan sebagai ‘korban yang dizalimi’ dan ada kelompok yang secara konsisten distigmakan sebagai ‘pelaku’.

Pada titik inilah, argumen Nugroho terkait fenomena ‘asal bagi’ menjadi sangat relevan. Banyak orang merasa senasib sepenanggungan dengan pihak yang dizalimi (karena seagama atau seetnis). Karenanya, membagikan berita atau link hoaks tersebut dipandang sebagai bentuk keprihatinan, yang celakanya didasarkan pada kejadian atau peristiwa palsu.

Dan, membagi berita bukanlah sekadar membagi berita, ada simbiosis transaksional yang sangat kompleks di dalamnya. Saracen, misalnya, dengan 800.000 akun yang dimilikinya dapat mematok harga satu konten berita palsu pada kisaran Rp75 juta hingga Rp100 juta.

Mereka proaktif membuat proposal mengenai berita palsu kepada calon pemesan atau pembeli. Begitu kedua pihak sepakat, maka berbagai konten berita palsu dapat segera mengudara secara masif ke khalayak luas.

Setidaknya ada tiga titik yang dapat ditelisik dari persebaran hoaks ini. Titik pertama adalah di mana hoaks ‘dimakan’ oleh sekelompok masyarakat yang ‘asal bagi’ atas nama ‘perasaan senasib sepenanggungan’ tersebut.

Lalu pada titik kedua, ada sejumlah oknum yang mendulang popularitas politik, ekonomi, maupun sosial dari persebaran hoaks ini. Kapitalisasi ini sangat berguna dalam ajang pertarungan pemilihan umum.

Pada titik ketiga, para pembuat hoaks menikmati keuntungan ekonomi dari tindakan kriminal ini. Sebuah lingkaran sesat yang dapat saja menjadi langgeng di tengah masyarakat.

Dengan adanya perputaran uang yang masif, fenomena ‘asal bagi’ dan ditambah dengan balutan kepentingan politik guna mendulang popularitas dan suara, mata rantai persebaran hoaks tidak lagi hanya berkutat pada mampu atau tidaknya otoritas terkait membantah dan mengklarifikasi berita palsu tersebut.

Otoritas seperti kepolisian dan Badan Siber memiliki tugas ekstra mengusut tuntas industri hoaks ini, mulai dari hulu hingga hilirnya. Sebabnya jelas, di mana ada gula di situ ada semut. 

Hoaks kini seperti menjadi industri yang penuh gula dan sesak dengan semut-semut yang memiliki kepentingan masing-masing.

Pada akhirnya, hoaks bukan cuma soal bohong-membohongi. Ada sejumlah hal lebih kompleks yang meliputi isu peredaran hoaks ini. Dan fakta hoaks dijadikan komoditi bisnis cuma satu dari berbagai fakta yang berhasil era.id tangkap. Untuk tahu bahasan menarik lain soal hoaks, dan sebagai upaya melindungi diri dari paparan kebodohan dan kepalsuan, klik tautan berikut: Era Melawan Hoaks

Rekomendasi