"Karena sudah kejadian, kita mengucapkan belasungkawa dan pemerintah harus mengevaluasi secara mendalam apa yang terjadi di sini," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (20/3/2018).
Fahri menyebutkan, kejadian ini haruslah menjadi introspeksi diri bagi pemerintah. Pasalnya kejadian ini terjadi setelah pemerintah mengesahkan UU Pekerja Migran.
"Peristiwa ini terjadi justru ketika kita telah mengesahkan UU tentang Pekerja Migran, dan oleh karena itu jadi introspeksi pemerintah harus dilakukan secara lebih serius. Seharusnya masalah ini tidak terjadi lagi," jelas Fahri.
Wakil Ketua DPR Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Kokesra) itu menyayangkan eksekusi mati ini terjadi. Apalagi, pemerintah sudah memiliki database tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Harusnya, dengan data itu pemerintah bisa memantau seluruh tenaga kerjanya.
"Kita itu sudah memiliki database, maka dia harusnya punya aplikasi yang membuat kita mudah mengidentifikasi di mana dia berada. Sehingga kita tahu apa yang terjadi dengan mereka, khususnya pada daerah-daerah yang dianggap rawan," lanjut Fahri.
"Ini yang saya khawatirkan dan juga kecewa, kenapa ini tiba-tiba, padahal kita bisa melakukan total diplomasi. Paling tidak kalau kita tahu dari awal kita bisa menanyakan duta besar arab di sini, kita bisa telepon ketua majelis syuro (PKS) di Saudi, tapi ini sudah terjadi kan," tambah Fahri.
Berdasarkan data dari Direktorat Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri, pada 2016 terdapat 81 tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang dibebaskan dari ancaman hukuman mati. Yakni 7 TKI di Arab Saudi, 51 TKI di Malaysia, seorang TKI di China, 4 TKI di Singapura, dan 8 TKI di Vietnam.