Sabar, jangan buru-buru percaya dan nafsu pengin ikut nyebarin kabar di atas. Kabar itu adalah contoh informasi hoaks yang viral di media sosial, beberapa waktu lalu. Sandi Ferdian, pelaku penyebaran kabar bohong tersebut sudah ditangkap personel Direktorat Siber Bareskrim Polri.
Untuk meyakinkan netizen, Ferdian mengopi layout Media Indonesia dan menempelkan judul-judul tersebut. Untuk yang cermat mengamati, kita bisa langsung mengindentifikasi validitas sebuah informasi, kendati hal itu sudah keburu viral di media sosial.
Sejumlah kejanggalan terlihat dari judul yang dibuat. Seperti nama Ketua Umum PDI Perjuangan yang ditulis terpisah. Kemudian penggunaan judul, Media Indonesia tidak menggunakan huruf kapital dalam penjudulan. Selanjutnya kata 'adzan' juga terjadi kesalahan ejaan, karena yang benar adalah 'azan' dan beberapa bagian lain. Bagi yang enggak teliti, biasanya orang langsung sebar tanpa harus tabayyun terlebih dahulu.
Baca Juga : Kegaduhan Tak Berkesudahan
Contoh berita hoaks Megawati yang viral di media sosial (Istimewa)
Baca Juga : Viral Dahulu, Hoaks Kemudian
Kesalahan fatal lain ialah berita tersebut mencomot logo Media Indonesia yang lama. Padahal, sejak awal tahun lalu, Media Indonesia sudah mengganti logo tersebut dengan logo yang baru.
Berangkat dari stereotip
Kendati tahu kalau kabar di atas adalah hoaks, sebagaian orang tetap menyebarkan informasi tersebut. Kenapa? Mengutip Mulawaman dan Aldila, dari Buletin Psikologi Universitas Gajah Mada (2017), stereotip menjadi materi dasar belief (keyakinan) dalam diri individu maupun kelompok (kolektif). Kemudian dalam situasi tertentu, belief tersebut menjadi prasangka yang selanjutnya dapat menyulut perilaku diskriminasi maupun tindakan non-kooperatif lainnya, seperti fitnah dan permusuhan antarkelompok.
Selain itu, perilaku kolektif diartikan sebagai aksi yang dilakukan secara bersama-sama atau serentak dengan cara yang mirip oleh sejumlah besar orang dalam kelompok dan dalam situasi atau kejadian tertentu, yang terkadang dapat berupa aksi yang tidak biasa (Barbara Krahe dalam Perilaku Agresif, 2005).
Ilustrasi (era.id)
Baca Juga : Hoaks Makin Meningkat Jelang Pilpres
Barbara menyebutkan ada beberapa faktor penentu perilaku kolektif, antara lain structural conduciveness, yakni faktor struktur situasi sosial yang memudahkan terjadinya perilaku kolektif, seperti keberagaman agama, suku, ideologi, dan ras dalam sebuah wilayah.
Kemudian structural strain, yakni kesenjangan, ketidakserasian antarkelompok sosial, etnik, agama, dan lain-lain yang membuka peluang bagi terjadinya berbagai bentuk ketegangan. Semakin besar ketegangan struktural, maka semakin besar pula peluang terjadinya perilaku kolektif. Terakhir general belief, yaitu desas-desus yang dengan sangat mudah dipercaya kebenarannya dan kemudian disebarluaskan.
Infografis (era.id)
Badan Intelijen Negara (BIN) menyebut penyebaran hoaks di media sosial akan meningkat mendekati Pilkada 2018. Puncaknya diprediksi akan terjadi jelang Pemilihan Presiden 2019.
Informasi hoaks di media sosial akan fokus pada penggiringan opini. Salah satunya membuat berita positif bagi para kandidat yang didukung dan melakukan black campaign bagi lawan politiknya.
Dia menambahkan, informasi hoaks sudah mencakup 60 persen dari konten media sosial di Indonesia. Negeri ini menjadi negara yang rentan dengan hoaks mengingat pengakses internet Indonesia sudah mencapai lebih 50 persen dari jumlah penduduk.
"Generasi milenial paling rentan bahaya hoaks,"ujarnya.
Apabila para pengguna internet tidak waspada dengan hantu hoaks di jejaring media sosial, maka akan terpengaruh menyebarkan kepada koleganya. Akhirnya memunculkan efek bola salju yang menggelinding makin besar.