Jumlah Pasien, Alasan IDI Tunda Pecat Dokter Terawan

| 09 Apr 2018 18:27
Jumlah Pasien, Alasan IDI Tunda Pecat Dokter Terawan
Dokter Terawan (kiri) dengan Krishna Murti. (Instagram: krishnamurti_91)
Jakarta, era.id - Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) dokter Terawan Agus Putranto bisa bernafas lega sementara waktu. Pasalnya Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menunda mengeksekusi surat keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK).

Dalam surat keputusan itu tertulis, MKEK memberhentikan sementara dokter Terawan sebagai anggota IDI selama 12 bulan dan merekomendasikan pencabutan izin praktik dokter.

Ketua Umum IDI, Ilham Oetama mengatakan, penundaan eksekusi dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah pasien yang diobati dokter Terawan. Kata Ilham, media menyebutkan jumlah pasien yang sudah diobati sang dokter mencapai 40.000 pasien.

"Tentang masalah 40.000 orang sudah diobati oleh dokter Terawan, tentu kita harus ingat ada yang berhasil juga ada yang gagal. Seharusnya, yang dipertimbangkan oleh teman-teman jurnalis yang mengekspos semua yang berhasil, tentu bagaimana juga anda secara bijak mengekspos siapa-siapa yang gagal. Itu yang penting dalam keseimbangan pemberitaan," kata Ilham di Gedung IDI, Jalan Sam Ratulangi, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (9/4/2018).

Baca Juga : Surat Pemecatan Dokter Terawan Menyebar, IDI Gandeng Intelijen

Ketua Umum PB IDI, Ilham Oetama Marsis (Suriaman/era.id)

Ilham menilai, pengobatan dengan metode terapi cuci otak melalui DSA yang ditemukan dokter Terawan tak sepenuhnya salah. Bila ditilik dari sisi ilmiah, Terawan benar karena penemuannya itu telah ia tuangkan ke dalam disertasi doktornya.

Baca Juga : Dokter Terawan dan Kekakuan Medis Indonesia

Namun, jika temuan itu langsung diterapkan kepada masyarakat luas, tentunya hal itu belum bisa dibenarkan. Sebab, temuan ilmiah harus melalui uji klinis terlebih dahulu untuk selanjutnya dipraktikan pada masyarakat luas.

Dia menambahkan, uji klinis ini merupakan kewenangan dari tim Health Technology Assesement (HTA) di bawah tanggung jawab Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Indonesia.

"Kementerian Kesehatan belum menetapkan sebagai standar pelayanan yang tentunya secara praktik, tidak boleh dilakukan," pungkasnya.

Mereka pernah dirawat dr Terawan (Wildan/era.id)

Rekomendasi