"Ini artinya orang harus mengeluarkan biaya hampir setara dengan nilai ekonomi yang akan didapat jika memenangi sengketa bisnis. Angka di 2018 sebenarnya sudah membaik dibandingkan biaya proses perkara pada 2017 yang mencapai 118 persen, tetapi tetap saja tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain," kata Chandra dalam acara "AHP Business Law Forum 2018: Revitalisasi Hukum Ekonomi & Mekanisme Penyelesaian Sengketa Bisnis di Indonesia", seperti dilansir dari Antara, Selasa (24/3/2018).
Baca Juga : Cakada Bermasalah Hukum Diusulkan Didiskualifikasi
Chandra mengungkapkan, di kalangan komunitas hukum Indonesia, sistem perdata kerap dikritik. Banyak proses yang kurang esensial dan dipertahankan karena tradisi. Selain itu peradilan perdata lebih fokus pada kebenaran formil seolah-olah fakta dan pembuktian bukan hal utama.
Melihat hal ini, negara tidak diam. Mahkamah Agung mengeluarkan Perma (Peraturan Mahkamah Agung) tentang Gugatan Sederhana di tahun 2015. Perma ini untuk menghapus hambatan penyelesaian sengketa perdata, termasuk untuk perkara yang nilainya di bawah Rp200 juta.
Ia menyebutkan penyelesaian sengketa alternatif melalui arbitrase dan mediasi juga banyak dirundung masalah, terutama soal eksekusi yang juga merupakan masalah laten di pengadilan perdata.
Baca Juga : Tren Sengketa Pilkada 2018
Masalah lain adalah sikap pengadilan terhadap putusan arbitrase, khususnya mengenai proses pembatalannya.
"Sementara di mediasi kecenderungan mekanisme tersebut dilakukan sebagai proforma masih sulit dihindari," ujarnya.
Perkara perdata juga kerap beririsan dengan pidana. Berdasarkan Laporan Tahunan MA, setiap tahun hampir separuh perkara pidana yang dikasasi ke MA berawal dari sengketa perdata. Bahkan penipuan atau perbuatan curang dan penggelapan selalu menjadi tindak pidana umum di urutan teratas.