Jokowi sebagai calon petahana merupakan sasaran empuk sekaligus yang utama. Pihak yang tidak ingin mantan Gubernur DKI Jakarta itu kembali memimpin Indonesia di periode mendatang, pasti akan melontarkan kampanye negatif padanya. Saya memastikan proses Pilpres mendatang akan marak dihiasi kampanye negatif. Untuk saat ini, kampanye negatif itu akan berkedok kritik pada pemerintah.
Dalam ranah komunikasi politik, kampanye negatif sering digunakan untuk mengerdilkan reputasi maupun kapabilitas lawan politik, dengan cara mengekploitasi kelemahan-kelemahannya. Berbagai penelitian memang sudah membuktikan bahwa pesan miring yang terkandung dalam kampanye negatif lebih memberikan stimuli di telinga masyarakat. Ada sisi dalam diri manusia yang lebih tertarik mendengar kejelekan maupun keburukan orang lain daripada keberhasilan orang tersebut.
Proses kampanye resmi memang belum dibuka oleh KPU, selaku penyelenggara. Namun, kampanye negatif kini mulai menggeliat dan menyasar Jokowi. Contohnya adalah #2019GantiPresiden. Pertama kali tagar tersebut diviralkan oleh politikus PKS Mardani Ali Sera. Memang tidak ada yang salah dengan hal tersebut, karena merupakan bagian strategi komunikasi politik. Hal ini akan jadi masalah bila ada seorang politisi atau kelompok masyarakat berusaha melakukan kudeta atau gerakan bersenjata.
Contoh lainnya adalah seruan-seruan yang tergolong kampanye negatif oleh sesepuh dari PAN Amien Rais. Bulan lalu, ia melontarkan kritik pedas terkait pembagian sertifikat tanah yang dilakukan Jokowi sebagai pengibulan belaka. Kemudian, seruan terbaru adalah dirinya menyebut program Nawacita sebagai Nawasengsara.
Kampanye negatif seringkali dilakukan oleh sang penantang, terutama ketika dirinya merasa tidak punya program yang lebih unggul dari yang dimiliki petahana. Kesimpulan tersebut merupakan hasil penelitian dari tiga orang peneliti dari University of Massachusetts. Dengan demikian, titik fokus proses pemilihan mendatang akan dihabiskan untuk menggali kekurangan-kekurangan petahana. Mudahnya, mencari kelemahan tanpa memberi solusi apapun.
Langkah ciamik Jokowi
Saya melihat Jokowi sadar akan posisinya sebagai petahana. Dalam pengamatan saya, ia tahu menempatkan posisinya dalam menghadapi kampanye negatif ini. Terkadang ia membiarkan saja, kadang ada pula yang ia komentari sebagai wujud ketegasan menghadapi persoalan.
Setidaknya ada tiga gaya komunikasi politik yang diterapkan Jokowi dalam merespon kampanye negatif. Pertama, counter-imaging atau kontra pencitraan. Bila ada kampanye negatif, Jokowi bersama tim medianya maupun relawan berusaha untuk mengirim pesan-pesan positif ke masyarakat. Misalnya, pesan berupa keberhasilan-keberhasilannya dalam membangun wilayah luar Indonesia.
Kedua, denial atau bantahan. Salah satu kampanye negatif yang pernah menyerang Jokowi dan sekarang berusaha digulirkan kembali adalah isu PKI. Pada awalnya, Jokowi enggan merespon. Namun, pada 6 Maret 2018 lalu, ia pun memberikan bantahan dengan nada tegas sekaligus jengkel. Jokowi mengatakan dirinya lahir pada 1961, sementara PKI dibubarkan pada 1965.
"Berarti ada PKI balita, ngawur itu," tegas Jokowi saat itu.
Memang ketika diserang kampanye negatif, tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Bila dibiarkan, isu tersebut akan makin liar dan sulit diatasi. Namun, kapan mengutarakan bantahan perlu kejelian. Bila sedikit-sedikit membantah suatu isu, maka akan dianggap defensif atau kampanye negatif tersebut benar adanya oleh publik. Di sini Jokowi merespon isu PKI di momen yang tepat sehingga dampaknya positif padanya.
Terakhir, counterattack atau serangan balik. Bila diibaratkan petinju, Jokowi ini menerapkan gaya Muhammad Ali. Ia bisa menghindari kampanye negatif lawan bak kupu-kupu menari, dan menyerang seperti lebah. Salah satu kampanye negatif yang menarik perhatian saya adalah beban utang Indonesia. Utang luar negeri Indonesia saat ini mencapai Rp4 ribu triliun. Pihak-pihak yang mau menghambat Jokowi pun akan ‘menggoreng’ isu ini. Lantas, Jokowi pun menyerang balik dengan mengajak para pengkritik untuk adu data.
Jangan berlebihan
Saya menggarisbawahi tidak ada yang salah dengan praktik kampanye negatif. Sebab, kampanye demikian memberikan gambaran baik atau buruk kandidat-kandidat yang akan dipilih. Akan membosankan pula, bila kampanye mendatang hanya ajang pamer para elit politik.
Namun, ada batasan yang tak boleh dilanggar. Bila aktor-aktor politik menerapkan kampanye negatif secara membabi-buta, bukan tidak mungkin kampanye negatif akan berubah jadi kampanye hitam. Kampanye hitam memiliki bahaya laten seperti memecah belah bangsa. Hal ini harus dijauhi.
Sayang bila tiap pemilu, masyarakat Indonesia dipecah belah dan ketika ada pemimpin baru, lima tahun pemerintahannya hanya sibuk menyatukan bangsa kembali. Masyarakat di sini punya peranan penting. Masyarakat perlu lebih jeli dalam merespon sebuah pesan. Penting menggunakan logika dan fakta, bukan emosi belaka. Tingkat keberhasilan kampanye negatif sangat dipengaruhi oleh pendidikan politik masyarakatnya.
Mereka yang memiliki pemahaman politik akan sulit dipengaruhi oleh kampanye negatif. Kelompok ini biasanya memang menaruh perhatian pada perkembangan politik. Sementara, mereka yang enggan mengikuti perkembangan politik, akan jauh lebih mudah dipengaruhi. Di era teknologi komunikasi seperti ini, hoax atau fake news bisa merajalela, sehingga budaya untuk cek dan ricek harus diutamakan.
Pada 2014 lalu, kita dihadapkan kenyataan pahit adanya kampanye hitam, salah satunya Majalah Obor Rakyat. Penetrasi dari Obor Rakyat mungkin tidak terlalu dalam karena tergolong media cetak dan daya distribusinya terbatas. Andai muncul hal serupa kembali muncul di Pilpres 2019 dan disebar di media sosial, dampaknya akan mengerikan. Oleh karena itu, pentingnya tidak berlebihan dalam kampanye negatif supaya tidak berujung kampanye hitam.
Silvanus Alvin
Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Bunda Mulia
Penerima Beasiswa LPDP, Lulusan Master University of Leicester
Era ide adalah kumpulan tulisan dari para pemikir negeri ini. Kami mau era ide bisa memberikan pemahaman baru bagi pembaca media ini. Jika ada opini kamu mengenai sebuah peristiwa politik, hukum atau apa pun, silakan kirim tulisan ke [email protected]. Isi tulisan adalah pendapat pribadi dari penulis dan bukan cerminan dari sikap redaksi.