Kisah Ujian Akhir Lintas Generasi
Kisah Ujian Akhir Lintas Generasi

Kisah Ujian Akhir Lintas Generasi

By Yudhistira Dwi Putra | 17 Jul 2018 09:10
Jakarta, era.id - Hari itu, Senin pada 2009 yang tanggalnya tak lagi teringat, sangat pagi, Agung berkumpul di kantin sekolahnya di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Ramai-ramai, Agung dan seluruh kawannya menilik kopian lembar kunci jawaban Bahasa Indonesia.

Ramai-ramai, mereka menyalin apa pun yang tertulis dalam lembaran itu. Ramai-ramai juga mereka menggantungkan separuh nasib kelulusan dan masa depan pendidikan mereka pada kertas yang kompak mereka sebut "nasi uduk".

Baca Juga : Menakar Ujian Nasional dan Mutu Pendidikan

Selama separuh pekan, nasi uduk itu jadi sarapan mereka, sebelum berkutat dengan lembar ujian. Hasilnya cukup lumayan. Banyak dari kawan-kawan satu sekolah Agung yang teriak kegirangan usai ujian. Mereka bilang, "nasi uduknya enak!"

Tentu, Agung dan gerombolan anak SMA tingkat akhir itu bukan orang-orang idiot yang begitu saja menyerahkan nasib pada selembar kertas yang diberikan seorang pegawai rendahan di sebuah tempat bimbel di daerah Depok. Karenanya, mereka membuat sebuah skema untuk memastikan contekan yang mereka bawa ke dalam kelas itu adalah modal yang paten.

Caranya, di setiap kelas, mereka menunjuk satu orang yang memiliki keahlian di tiap-tiap mata pelajaran yang diuji. Orang itu bertugas memverifikasi validitas contekan. Kalau oke, si ahli akan memberi tanda: memindahkan posisi name tag dari dada ke punggung.

Cukup brilian. Toh, terlalu berbahaya memang andai mereka hanya berpatokan pada contekan. Bayangkan, saat itu, satu-satunya kepercayaan yang mengikat mereka dengan si penjual nasi uduk adalah keputusasaan menghadapi Ujian Nasional (UN). Karenanya, Agung menekankan, biar bagaimana pun, contekan hanya untuk jaga-jaga. Yang penting tentu saja belajar dengan sungguh-sungguh.

Baca Juga : Ujian Nasional dengan Kesulitan Tingkat Tinggi

Akhirnya, Agung lulus dengan nilai 6,45. Lumayan, karena saat itu pemerintah menetapkan nilai rata-rata 5,50 sebagai standar kelulusan. Dan semua hal yang ia alami, tentu saja jadi cerita yang berharga. Kisah yang boleh saja andai ingin ia ceritakan kepada anak dan cucunya kelak, tentang bagaimana ia menjalani pendidikan dan menempuh UN.

Sah-sah saja, kan? Toh, setiap generasi punya kisah di masa sekolahnya masing-masing. Dan betul, zaman Agung dulu, ujian kelulusan siswa dinamai dengan UN.

Lalu, seperti apa sih pelaksanaan ujian kelulusan yang dilalui generasi ke generasi? Yuk kita ikuti perjalanannya!

Infografis "Perbedaan Kurikulum 2006-2013" (Yuswandi/era.id)

1950 - 1960-an

Saat itu, ujian kelulusan dinamai dengan Ujian Penghabisan Nasional. Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan menyelenggarakan ujian berbentuk esai. Iya, hanya ada esai tanpa pilihan ganda. Hasil ujian waktu itu diperiksa secara manual di pusat rayon.

1965-1971

Pada masa itu, ujian kelulusan siswa juga biasa disebut UN yang merupakan akronim dari Ujian Negara. Saat itu, siswa wajib mengikuti ujian untuk semua mata pelajaran di bawah pemerintah pusat yang memegang kebijakan penuh atas penyelenggaraan ujian negara, termasuk persiapan bahan dan penetapan waktu ujian.

1972-1979

Dalam periode itu, Ujian Negara digantikan dengan Ujian Sekolah. Saat itu, sekolah diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan ujian secara mandiri, mulai dari mempersiapkan soal hingga menetapkan penilaian.

1980-2000

Di masa itu, para siswa harus menjalani dua bentuk ujian kelulusan, yakni Evaluasi Belajar Tahap Akhir (Ebta) dan Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Dalam Ebtanas, mata pelajaran yang diujikan hanya mata pelajaran pokok. Sedangkan pada Ebta, seluruh mata pelajaran yang ada saat itu turut diuji.

Nah, kelulusan siswa saat itu ditentukan oleh kombinasi antara hasil Ebta dan Ebtanas, plus nilai ujian harian pada rapor. Saat itu, pemerintah menetapkan nilai rata-rata enam sebagai standar kelulusan.

2001-2004

Memasuki era milenium, Ebtanas dihapuskan. Pemerintah saat itu merancang sistem ujian kelulusan baru, yakni Ujian Akhir Nasional (UAN). Kewenangan untuk membuat soal ujian dan menentukan standar kelulusan saat itu diberikan kepada Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).

Dari tahun ke tahun penyelenggaraan UAN, pemerintah menentukan standar nilai kelulusan berbeda, dengan peningkatan standar setiap tahunnya. Di tahun 2002, kelulusan siswa ditentukan oleh nilai minimal untuk setiap mata pelajaran.

Lalu, standar itu diubah pada tahun 2003, di mana siswa harus mendapatkan nilai minimal 3,01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata-rata 6,0 untuk seluruh mata pelajaran. Tahun 2004, standar nilai kelulusan kembali ditingkatkan. Saat itu, tak ada nilai rata-rata minimal. Tapi, siswa dinyatakan lulus ketka mampu meraih nilai minimal 4,01 pada setiap mata pelajaran.

2005 - 2014

Pada periode itu, UAN diganti menjadi Ujian Nasional (UN). Seperti halnya penerapan UAN, standar kelulusan UN juga terus ditingkatkan. Peserta UN tahun 2005 dan 2006 harus meraih nilai minimal 4,25 pada setiap mata pelajaran, sedangkan peserta UN di tahun 2007 harus mencapai nilai rata-rata minimal 5,00.

Di tahun 2008, pemerintah menetapkan standar baru, yang semula mengujikan tiga pelajaran pokok, ditambah menjadi enam pelajaran pokok. Peserta UN saat itu harus memenuhi nilai rata-rata minimal 5,25. Pada tahun-tahun berikutnya, nilai dan standar UN terus diubah, hingga pemerintah kembali berinovasi dan mengubah UN menjadi UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer) di tahun 2014.

2014-Sekarang

UNBK atau Computer Based Test (CBT) adalah sistem pelaksanaan ujian nasional dengan menggunakan komputer sebagai media pendukung ujian. Dalam pelaksanaannya, UNBK berbeda dengan sistem ujian nasional berbasis kertas atau Paper Based Test (PBT) yang sebelumnya sudah berjalan.

Berdasar info yang diperoleh dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), di tahun pertama penyelenggaraan UNBK, pemerintah melakukan uji coba di dua sekolah Indonesia yang terletak di Malaysia dan Singapura. Hasilnya cukup oke. Sejak itu, pemerintah terus mendorong pelaksanaan ujian berbasis teknologi.

Di tahun 2015, pemerintah melakukan rintisan UNBK dengan mengikutsertakan 556 sekolah yang terdiri dari 42 SMP/MTs, 135 SMA/MA, dan 379 SMK di 29 Provinsi dan Luar Negeri. Kemudian, di tahun 2016, pelaksanaan UNBK mengikutsertakan lebih banyak sekolah, yakni 4382 sekolah yang tediri dari 984 SMP/MTs, 1298 SMA/MA, dan 2100 SMK.

Tahun 2017, jumlah sekolah yang mengikuti UNBK tahun 2017 melonjak tajam menjadi 30.577 sekolah yang terdiri dari 11.096 SMP/MTs, 9.652 SMA/MA dan 9.829 SMK. Meningkatnya jumlah sekolah UNBK pada tahun 2017 ini seiring dengan kebijakan resources sharing yang dikeluarkan oleh Kemendikbud, yaitu memperkenankan sekolah yang sarana komputernya masih terbatas melaksanakan UNBK di sekolah lain yang sarana komputernya sudah memadai.

Penyelenggaraan UNBK saat ini menggunakan sistem semi-online, artinya soal dikirim dari server pusat secara online melalui jaringan (sinkronisasi) ke server lokal (sekolah), kemudian ujian siswa dilayani oleh server lokal (sekolah) secara offline. Selanjutnya hasil ujian dikirim kembali dari server lokal (sekolah) ke server pusat secara online (upload).

Kalau kamu, kisah yang mana yang kamu alami?

Rekomendasi
Tutup