Tapi, beruntung. Malam itu mereka enggak bertemu siapa pun. Kelompok anak yang paling-paling masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) itu pun urung berperang, sebagaimana mereka lakukan pada malam-malam di bulan Ramadan biasanya.
Kala itu, saya jadi bagian dari mereka, anak buah Alfi. Sejumlah jenis petasan, mulai dari petasan korek hingga petasan luncur jangwe jadi senjata kami. Narasi tersebut mungkin akan begitu familiar buat anak-anak yang menginjak kecil di medio 90-an. Sungguh, akui saja, hal itu bukan hal yang baik, namun terasa begitu menyenangkan.
Yang jelas, akan ada risiko dari setiap petasan yang disulut. Ledakan yang bersumber dari petasan seringkali menyebabkan kerusakan sarana dan prasarana, kebakaran, hingga menyebabkan orang terluka. Bahkan, pada tingkatan lain, ledakan petasan bisa jadi tragedi yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.
Kejadian yang baru terjadi di Situbondo, Jawa Timur pada Kamis malam (24/5) misalnya, di mana petasan melukai dua orang warga. Keduanya terluka akibat ledakan yang terjadi saat keduanya diduga tengah membuat petasan. Akibat luka yang diderita, Indra Wisono (22) dan Agus Abidin (20) harus menjalani perawatan di RSUD dr Abdoer Rahem.
"Tempat kejadian ledakan petasan di rumah Pak Nur Ali, Dusun Kacep, Desa Curah Tatal, Kecamatan Arjasa pada Kamis (24/5) malam sekitar pukul 19.00 WIB dan korban dibawa ke RSUD dr Abdoer Rahem," kata Kasubag Humas Polres Situbondo, Iptu Pol Nanang Priyambodo di Situbondo, sebagaimana dikutip dari Antara, Jumat (25/5).
Luka yang diderita keduanya lumayan. Agus mengalami luka lecet pada wajah dan tangan. Luka lebih parah diderita oleh Indra. Akibat ledakan itu, Indra mengalami patah tulang dan luka bakar hampir di sekujur tubuh. Selain luka, rumah tempat kedua korban membuat petasan pun mengalami kerusakan. Atapnya hancur, seluruh kaca rumah pecah.
Baca Juga : Intisari Islam dari Bung Karno untuk Indonesia
Saat ini polisi tengah menyelidiki bagaimana peristiwa bisa terjadi, termasuk mencari tahu apakah para korban merupakan pembuat petasan atau bukan. "Keduanya diduga membuat petasan di dalam rumah Pak Nur Ali," ungkap Nanang.
Dalam skala yang lebih besar, ledakan petasan bahkan pernah menyebabkan tewasnya 47 orang. Kosambi, Oktober 2017 jadi tragedi paling buruk dari ledakan petasan. Kala itu, pabrik petasan milik PT Panca Buana yang berlokasi di Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten itu terbakar akibat ledakan petasan yang muncul dari percikan api yang ditimbulkan dari kegiatan
pengelasan yang dilakukan di lokasi.
Konsekuensi hukum
Petasan adalah bubuk mesiu yang dikemas dengan beberapa lapis kertas dan diberi sumbu. Dalam beberapa kasus, bubum mesiu itu dibuat secara manual lewat formulasi ulang sejumlah bubuk kimia yang memiliki efek membakar. Kebanyakan petasan diledakkan dengan cara membakar sumbu yang biasanya telah dipasang di tiap badan petasan.
Berdasar penelusuran literasi sejarah, kami menemui bahwa sejak dahulu petasan telah memiliki konsekuensi hukum. Pada zaman penjajahan Belanda dahulu, aspek hukum dari petasan diatur dalam Lembaran Negara (LN) tahun 1940 Nomor 41 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Bunga Api (1939). Dalam LN itu disebutkan, barang siapa yang membuat, menjual, menyimpan, mengangkut bunga api dan petasan tanpa standar prosedur akan diancam pidana kurungan tiga bulan dan denda.
Baca Juga : Menyelami Fenomena Bukber
Selanjutnya, aturan terkait petasan diubah menjadi UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Amanat yang termaktub dalam UU tersebut jauh lebih mengerikan, yakni bahwa pelaku penyalahgunaan petasan diancam dengan ganjaran 20 tahun penjara atau hukuman mati.
Polri, selaku pihak yang bertanggung jawab atas keamanan masyarakat juga telah menetapkan petasan sebagai material yang berpotensi menimbulkan gangguan terhadap keamanan. Dan di bulan Ramadan, nyatanya ancaman itu memang jadi lebih besar. Ancaman tersebut biasanya terjadi di waktu-waktu tertentu, yakni malam hari dan waktu sahur.
Untuk mengakomodir hal itu, Kapolri pun telah menerbitkan payung hukum, yakni Peraturan Kapolri Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pengawasan, Pengendalian dan Pengamanan bahan Peledak Komersial. Peraturan tersebut juga menyiapkan efek jera kepada pembuat dan penyalahguna petasan. Sanksi penjara, denda, hingga hukuman mati jadi ancamannya.
Menariknya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun telah menyatakan sikap. Pada 2010, MUI telah menerbitkan fatwa haram terhadap penggunaan petasan dan kembang api. Hal itu termaktub dalam Fatwa MUI Nomor 31 Tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan fatwa tanggal 24 Ramadhan 1395 atau 30 September 1975. Dalam fatwa tersebut, MUI menyebut petasan memiliki mudharat yang lebih besar dari pada manfaatnya.
Tradisi dan bagian dari budaya
Biar bagaimana pun, petasan adalah bagian dari tradisi. Apalagi di bulan Ramadan. Berbarengan dengan bulan penuh damai, biasanya para penjual ledakan justru bertumbuh pesat hingga memicu sejumlah permasalahan sosial. Sebab, selain buat hiburan, sejumlah orang seperti Alfi --dan saya ketika itu-- memang menggunakan petasan buat 'berperang'.
Selain tradisi semacam itu, petasan juga menjadi bagian dari budaya. Dalam adat betawi misalnya. Petasan kerap digunakan untuk merayakan berbagai upacara adat, termasuk saat Ramadan dan untuk digunakan dalam sebuah pesta pernikahan. Sejarawan Betawi, Alwi Shahab percaya penggunaan petasan bagi orang betawi terpengaruh oleh penduduk Tionghoa, etnis pertama yang memperkenalkan petasan kepada dunia.
Baca Juga : Mencari Komeng di Kala Sahur
Atau khusus kamu yang tinggal di daerah Jawa Tengah, terutama Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), kamu pasti mengenal tradisi perang petasan bledosan atau mercon bumbung yang memang biasa dilakukan pada bulan Ramadan, tepatnya jelang malam takbiran.
Petasan bledosan adalah jenis petasan yang dibuat dari bambu petung yang diisi karbit dan air. Kadang-kadang, beberapa orang juga mengisinya dengan minyak tanah. Petasan ini terbilang aman karena ledakannya tidak mengandung mesiu. Bahkan, di tingkatan lebih aman, petasan ini kerap digunakan oleh para petani untuk mengusir hama burung.
Jadi, pesta pernikahan kita nanti mau pakai petasan atau enggak?