AKU
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
(Maret 1943)
ERA.id - Chairil Anwar saat menulis sajak itu jelas sadar tak akan mampu hidup seribu tahun, di angka 30 saja ia tak bisa. Jelas itu sebuah metafora.
Namun, perayaan Hari Puisi Nasional yang jatuh tiap 28 April bisa menjadi kehidupan lain bagi Chairil untuk hidup seribu tahun lagi.
Hari Puisi Nasional, 28 April, merupakan tanggal meninggal Chairil Anwal pada 1949—empat tahun setelah kemerdian Republik Indonesia—di umur 27 tahun, akibat Tuberkulosis (TBC).
Pada majalah Merdeka, edisi 29 April 1949, No. 1020. Th. V, mengabarkan kematian Chairil Anwar.
bahwa mereka yang banyak bergaul dengan pujangga muda ini serta tahu kepada keadaannya memang telah lama mengetahui bahwa jiwa yang melahirkan sajak-sajak yang indah ini terbungkus dalam badan yang tidak begitu kuat, terbalut dalam jasmani rapuh yang selalu menderita sakit-sakit.
Kawan-kawannya saat itu sudah tahu atas penyakit yang Chairil derita, tetapi kepergiannya mengejutkan banyak orang.
Sesuai penjelasan di Ensiklopedia Kemdikbud bahwa sepanjang enam setengah tahun dari 1942—1949, Chairil menghasilkan 71 buah sajak asli, 2 buah sajak saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan.
Kepenyairannya mampu memengaruhi lintas zaman, bahkan puisinya hingga sekarang masih sedap dibaca.
Si Binatang Jalang ini lahir di Medan, Sumatra Utara, 26 Juli 1922, dari pasangan Toeloes dan Saleha. Tahun ini menjadi tahun ke-100 bagi Chairil Anwar.
Saat duduk di sekolah menangah pertama, ia telah melahap semua buku siswa Hoogere Burgerschool (HBS)—setingkat sekolah menengah atas.
Ia banyak membaca buku karya-karya sastrawa dunia, seperti Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar Du Perron.
Dalam Catatan Pinggir-nya di majalah Tempo, 16 April 2022, dengan judul “100 tahun”, Goenawan Mohamad mengatakan kita perlu rayakan 100 tahun Chairil Anwar. Penyair Indonesia yang luar biasa ini lahir pada 1922, tahun yang juga disebut sebagai awal “modernisme”, perubahan besar dalam sastra di dunia—perubahan yang dua dasawarsa kemudian membentuk watak karya sastrawan kelahiran Medan ini.
Akan tetapi, kemodernan dari Eropa itu dikritik habis oleh Ajip Rosidi. Tulisan pada 1960, Ajip menulis bahwa “Meskipun mereka masih makan nasi dan ikan asin, secara rohaniah tanah air mereka adalah Belanda dan Eropah.”
Sedangkan, Saut Situmorang dalam status Facebook, 28 April 2022, ia menyebut bahwa Chairil Anwar itu keren kerna mengenalkan ekspresi bahasa Indonesia Medan ke dalam puisi Indonesia dan membuatnya modern dan kontemporer. Mampus bahasa Balai Pustaka dibikinnya!
Pengakuan Mochtar Lubis
Dalam majalah Horison, No. 4, Thn. XIX, April 1985, Mochtar Lubis menulis tulisan berjudul “Chairil Anwar, Sebuah Kenang-Kenangan”. Ia menceritakan kisahnya bersama Chairil Anwar saat berkunjung ke toko buku.
Pada suatu hari, Mochtar dan Chairil memasuki toko buku. "Saya ingin mencari buku tentang jurnalistik," ujar Mochtar kepada Chairil.
Sayangnya, buku yang ia cari tidak ada. Selepas itu, mereka keluar dari toko buku, kemudian Chairil menepuk perutnya dan sambil tertawa berkata "Coba tebak, ada apa di sini?"
Mochtar memegang perut Chairil. Dengan tertawa, Chairil membuka kancing kemejarnya, mengeluarkan dua buku tipis.
Kata Mochtar, Chairil telah "membebaskan" dua buku dari wilayah Belanda. Mochtar merasa kagum melihat keberanian Chairil di wilayah musuk. Karena waktu itu, Jakarta telah diduduki serdadu kolonial Belanda, dan di mata mereka orang Belanda dan semua milik mereka adalah sasaran yang sah dari semua pejuang kemerdekaan Indonesia.
Perihal "ambil buku" ini kerap dilakukan Chairil ke teman-teman karibnya. Seperti kata H.B. Jassin, "Dia punya sifat yang kadang-kadang membuat menggelegak. Misalnya dia biasa datang ke rumah meminjam buku, meminjam mesin tulis, tapi ada kalanya dia meminjam tanpa tanya, terus dibawa saja."
Sedangkan, Subagio Sastrowardoyo bilang “Chairil Anwar punya prinsip bukumu bukuku, rumahmu rumahku."
Terlepas dari kebiasaan Chairil Anwar “mengambil buku”, salah satu yang perlu diteladani darinya pada Hari Puisi Nasional ini ialah semangat membaca buku yang bergelora.