Peneliti KPPOD, Aisyah mengungkapkan dari penelitian tersebut ditemukan politisasi birokrasi terjadi karena ancaman demotasi (diturunkan jabatannya), mutasi dan promosi kerap dilakukan oleh calon petahana.
Padahal jelas, dalam pilkada maupun pemilu, ASN harus bersikap netral sebagaimana diatur dalam UU 5 tahun 2014 tentang ASN dan PP 53 tahun 2010 tentang disiplin PNS.
"Kepala daerah sangat krusial posisinya karena bisa melantik dan memberhentikan jabatan. Jadi birokrasi dilematis kalau enggak dukung kepala daerahnya, dia di cut (pecat)," kata Aisyah dalam diskusi publik 'Netralitas ASN di Pilkada' di Bakoel Coffe, Menteng, Minggu (24/6/2018).
Aisyah juga menambahkan keberdaan pengawas birokrasi semacam inspektorat tidak berperan optimal. Laporan mengenai adanya pelanggaran justru lebih sering terjadi dari eksternal pemda dalam hal ini, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Dalam menyikap sebuah pelanggaran di lingkungan ASN, ada dua sanksi yang diberikan yaitu teguran bila ASN melakukan pelanggaran kode etik. Dan pemotongan TKD hingga dimutasi bagi yang melanggar pelanggaran disiplin. Meski peraturan cukup keras namun sayangnya, penerapan di lapangan belum maksimal.
"Di daerah pemberian sanksi hanya teguran padahal harusnya pengurangan pangkat dan lain-lain," imbuhnya.
KPPOD mengungkapkan, dari hasil penelitian ditemukan 3 pelanggaran yang dilakukan oleh dua ASN dan satu guru. Pelanggaran tersebut dalam hal kampanye di media sosial, ikut kampanya di lapangan dan berfoto bersama.
Adapun di Jawa Barat terdapat lima kasus. 2 kasus dilakukan oleh ASN. 1 kasus oleh kepala dinas dan 1 kasus oleh sekretaris daerah. Pelanggaran tersebut dalam bentuk 1 kasus ikut kegiatan pengundian nomor urut, 2 kasus foto bersama, 2 kasus netralitas dalam parpol.
"Kalimantan Barat menjadi daerah dengan pelanggaran terendah, hanya 1 kasus oleh ASN dalam bentuk, ikut kampanye," tambahnya.
Sementara Sulawesi Tenggara menjadi daerah dengan jumlah kasus terbanyak, 49 kasus. Para ASN yang kerap melakukan pelanggaran beragam mulai dari Wakil Bupati, Kepala Dinas, Sekda, camat, guru, lurah, dan PPS
Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif deskriptif, yang dilakukan sejak Febuari hingga Juni 2018. Penelitian ini menggunakan metode studi lapangan, in-depth-interview dan analisis data lewat Nvivo 12.
Pemantauan dilakukan di 5 provinsi, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara. Alasan dipilihnya lima lokasi tersebut karena indeks kerawanan pemilu yang dikeluarkan oleh Bawaslu, adanya politik dinasti dan petahana.