Membunuh Karena Cinta: Haruskah Kita Percaya Sambo?

ERA.id - Ferdy Sambo keluar dari gedung Kejaksaan Agung (Kejagung) dengan baju tahanan oranye, sebelum masuk mobil rantis Brimob, di hadapan seluruh kamera dan setiap pasang mata yang menyorotnya, ia mengatakan alasannya membunuh Brigadir J, “Saya lakukan ini karena kecintaan saya kepada istri saya.”

Membunuh karena cinta telah menjadi sesuatu yang klise. Konon, Ken Arok membunuh penguasa Tumapel, Tunggul Ametung bukan hanya untuk kudeta, pun merebut istrinya, Ken Dedes, karena kepincut dengan kecantikannya.

Sepulangnya dari Kejagung, Sambo menitip pesan kepada kuasa hukumnya. Dalam suratnya itu, ia akhirnya ikut memohon maaf kepada orang tua dan keluarga korban. Saya menyesal sangat emosional saat itu, tulis Sambo. Permintaan maaf dan penyesalan ini tentu akan ikut terkubur andai saja skenario licik Sambo berjalan mulus. Sebagaimana koruptor yang mendadak saleh ketika memakai rompi oranye, bagi mereka penyesalan bukan datang terlambat, tapi datang setelah tertangkap basah.

Melihat Korban Sebagai Tikus

Apa pun motif dan alasannya, Sambo akan dikenang sebagai pembunuh. Seorang mantan pemimpin geng di Inggris, Bobby Cummines pernah berkata bahwa seorang pembunuh yang tidak menghilangkan emosinya hanya akan berakhir gila. “Atau, ia akan menaruh pistol di mulutnya sendiri.”

Hingga hari ini, Sambo tampaknya masih cukup waras, dan tidak ada tanda-tanda depresi hingga ia ingin menembak kepalanya sendiri. Jika bersandar pada penuturan Bobby, maka Sambo adalah pembunuh yang berhasil menghilangkan perasaan manusiawinya.

Dalam sebuah wawancara bersama LADbible TV, Bobby pernah ditanya bagaimana rasanya menembak seseorang? Ia diam beberapa saat sebelum menjawab. “Di kepala saya, saya tidak sedang menembak manusia.”

Dunia gangster mengajarkan Bobby untuk melihat korban layaknya tikus. Pembunuh profesional terlebih dulu mendehumanisasi korbannya, menganggap mereka bukan lagi sebagai manusia, melainkan hewan yang pantas dibunuh. “Saya hanya menembak hama, jadi saya tak merasa bersalah,” ucap Bobby.

Tidak ada orang yang merasa bersalah saat melindas tikus di jalan raya. Mungkin mereka hanya merasa jijik dan direpotkan karena ban kendaraan mereka ternodai darah kotor dan jeroan hewan kecil itu. Tidak ada juga yang merasa kasihan melihat bangkai tikus dengan usus terurai di atas aspal panas. Mereka hanya berusaha menghindarinya dan tak menoleh ke belakang.

Bayangkan ada orang yang berpikir seperti itu saat membunuh manusia. Bayangkan juga ada yang melihat kita tak lebih dari seekor tikus got yang bau. Bukankah itu sedikit mengubah pandangan kita terhadap manusia?

Usaha Mengelabui Publik

Sosiolog Robertus Robet pernah menyampaikan bahwa pembantaian anggota PKI pasca 1965 adalah hasil dari histeria kekerasan. Yaitu ketika kekerasan sudah demikian banal dan dinormalisasi publik. Gejala histeria kekerasan masih bisa kita saksikan di sekitar kita, saat ini juga. Kasus Sambo adalah salah satunya, atau penembakan gas air mata oleh polisi di Stadion Kanjuruhan yang mencabut nyawa hingga 131 orang per hari ini.

Pada kasus Sambo, Brigadir J sebagai korban ditransformasi menjadi pelaku pelecehan. Sementara para korban di Stadion Kanjuruhan ditransformasi menjadi suporter anarkis. Mengubah korban menjadi seseorang yang pantas untuk dihabisi adalah bagian dari proses dehumanisasi.

Kita dipaksa percaya bahwa orang-orang itu berhak mati tanpa proses pengadilan. Ketika kita mulai berpikir mereka pantas untuk mati, sebenarnya kita sedang diarahkan untuk bersikap layaknya seorang pembunuh.

Sekarang, ketika Sambo berkata bahwa ia membunuh karena cinta dan mengaku menyesali perbuatannya, setelah semua drama yang kita saksikan, haruskah kita percaya?

(Agus Ghulam)