Guratan Penuh Luka di Dinding Stadion Kanjuruhan

Stadion Kanjuruhan kini dipenuhi coretan. Tepat di bawah spanduk imbauan untuk taat aturan termaktub sebuah pesan: No Justice No Peace ACAB.

ERA.id - Coretan di dinding Stadion Kanjuruhan kian berlipat ganda. Guratan pilox, spidol, hingga cat itu tentunya bikin mata polisi pedas dan telinga panas. Sudut-sudut stadion yang pernah mencekam pada Sabtu (1/10) malam itu kini dipenuhi sebuah kode: 1312-ACAB.

Amarah lewat coretan di dinding itu tentunya tak lepas dari aksi represif aparat, usai pertandingan antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya dengan skor akhir 2-3. Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo secara gamblang menyebut 20 personelnya diduga melanggar kode etik terkait penembakan gas air mata dalam tragedi Kanjuruhan.

Yang lebih menyakitkan bukan sekadar karena aparat menabrak aturan FIFA yang melarang penggunaan gas air mata di stadion, melainkan atas insiden itu 131 nyawa melayang.

Listyo berdalih anggotanya terpaksa menembakan gas air mata karena usai pertandingan berakhir pada pukul 20.00 WIB, muncul reaksi dari suporter Aremania yang masuk ke lapangan. Dengan semakin bertambahnya penonton, beberapa personel menembakkan gas air mata. Tembakan itu pun mengakibatkan para penonton, terutama yang ada di tribun kemudian panik dan berusaha meninggalkan arena.

Personel polisi yang menembak gas air mata (Antara)

Sebanyak 7 kali tembakan gas air mata menyasar tribun selatan, 1 kali ke tribun utara, dan 3 tembakan ke lapangan Stadion Kanjuruhan, menurut versi kepolisian.

Penonton yang kemudian berusaha untuk keluar --khususnya di pintu 3, 10, 11, 12, 13, dan 14-- mengalami kendala karena pintu yang terbuka hanya kurang lebih selebar 1,5 meter. Kemudian, para penjaga pintu, tidak berada di tempat.

Akibat kondisi tersebut, terjadi desak-desakan yang menyebabkan sumbatan di pintu keluar itu hampir 20 menit. Akibat berdesakan ditambah adanya gas air mata, banyak korban yang mengalami patah tulang, trauma di kepala dan leher.

"Sebagian besar yang meninggal dunia mengalami asfiksia atau kadar oksigen dalam tubuh berkurang," kata Listyo dalam jumpa pers di Kota Malang, Jawa Timur, Kamis malam.

Jenderal bintang empat itu tegas menyatakan 20 anggotanya diduga melanggar kode etik terkait penembakan gas air mata. Mereka di antaranya pejabat utama Polres Malang sebanyak 4 personel, 2 personel perwira pengawas dan pengendali, 3 personel yang memerintahkan penembakan gas air mata dan 11 personel yang menembak.

Bukan Sekadar Coretan Biasa

Pasca malam mencekam itu, tembok-tembok Stadion Kanjuruhan dipenuhi dengan coretan penuh amarah. Pada salah sudut, tepat di bawah spanduk imbauan untuk taat aturan, termaktub sebuah pesan: No Justice No Peace ACAB.

Tulisan ACAB tersebar di mana-mana, sekaligus angka 1312 yang merupakan kode numerik untuk ACAB. Itu adalah akronim dari All Coppers (or Cops) are Bastards atau 'semua polisi bajingan'.

Tulisan ACAB di salah satu sudut Stadion Kanjuruhan. (Foto: detik.com)

Kode 1312-ACAB terus berlipat ganda bahkan hingga ke luar Stadion Kajuruhan, kendati pihak kepolisan telah menetapkan enam tersangka dalam insiden mencekam itu. Listyo bahkan berujar bahwa jumlah tersangka masih dimungkinkan untuk bertambah.

"Kemungkinan penambahan pelaku apakah itu pelaku pelanggar etik, maupun pelaku akan kita tetapkan terkait pelanggaran pidana kemungkinan masih bisa bertambah dan tim masih terus bekerja," kata Listyo.

Enam tersangka yang ditetapkan sebelumnya adalah Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) AHL, Ketua Panitia Pelaksana AH, security officer SS, Kabagops Polres Malang WSS, Danki 3 Brimob Polda Jawa Timur H, dan Kasat Samapta Polres Malang BSA.

Kode 1312-ACAB sebetulnya punya perjalanan panjang. Leksikograf asal Selandia Baru, Eric Partridge menulis dalam bukunya A Dictionary of Catch Phrases bahwa frasa tersebut telah ada sepanjang abad ke-20. Ia sendiri pertama kali mendengarnya pada 1920-an dalam sebait lagu yang berbunyi:

"I'll sing you a song, it's not very long: all coppers are bastards."

Lagu yang sama yang dinyanyikan sekelompok pemuda pekerja dari Lambeth dalam film dokumenter We Are The Lambeth Boys (1958).

Istilah ACAB mulai populer setelah koran Daily Mirror menuliskannya sebagai tajuk utama dalam edisi 20 Mei 1970. Diberitakan bahwa polisi menggelandang seorang remaja yang membordir tulisan ACAB di jaketnya.

Remaja itu mengaku membordir jaketnya setelah melihat anggota geng motor Hells Angel dengan atribut ACAB di jalan. Ia mengira ACAB merupakan singkatan dari All Canadians are Bums atau 'semua orang Kanada gelandangan'. Polisi kemudian melepaskannya setelah ia membayar denda sebesar lima paun.

Remaja berjaket ACAB itu berhasil pulang. Namun, istilah ACAB semakin menggaung sebagai simbol perlawanan terhadap otoritas kepolisian.

ACAB dari Punk ke Sepak Bola

Kemunculan gerakan punk di akhir 1970-an membantu istilah ACAB mendunia. Penulis Carl Cattermole dalam bukunya Prison: A Survival Guide menggambarkan ACAB sebagai "akronim yang sering digunakan anak punk dan kriminal pada tahun 70-an".

Grup band The 4 Skins yang menjadi pentolan skena skinhead awal 80-an merilis lagu berjudul "A.C.A.B." pada album pertamanya The Good, The Bad & The 4-Skins (1982), dan kian melambungkan ACAB sebagai slogan perlawanan.

Setahun sebelumnya, band punk Jerman antifasis, Slime juga merilis lagu berjudul serupa. Rekaman-rekaman itu kemudian banyak memengaruhi band-band lain untuk mengangkat isu yang sama.

Selain dipopulerkan oleh skena musik punk, ACAB juga menyebar lewat para suporter bola Inggris yang meniru gaya bahasa subkultur skinhead dalam penggunaan akronim. Para suporter ini juga mengadopsi istilah ACAB.

Sepak bola juga yang mengantarkan istilah ACAB menjadi populer di Indonesia. Pada 2016, seorang Jakmania, Muhammad Fahreza (Eja) yang masih berusia 16 tahun mengembuskan napas terakhirnya.

Eja pulang ke rumah dengan kondisi babak belur setelah menonton laga Persija melawan Persela Lamongan di Gelora Bung Karno (13/5/2016). Ia diduga habis dihajar polisi. Dua hari setelah itu ia meninggal dunia di RS Marinir Cilandak.

Pada November 2016, Tempo melakukan liputan mendalam tentang suporter Persija pascabentrokan dengan Bobotoh yang mengakibatkan korban jiwa. Saat liputan itu, Tempo juga menemukan slogan ACAB dalam buku catatan Eja.

Seorang pengurus Persija waktu itu menjelaskan bahwa para anggota mengadopsi istilah ACAB karena polisi kerap melakukan pengamanan yang kasar dan berlebihan.

Coretan berisi kritik pedas terhadap kepolisian di salah satu sudut Stadion Kanjuruhan. (Foto: Istimewa)

Hari ini kita bisa dengan mudah menemukan slogan ACAB di mana-mana, lebih-lebih pada setiap tragedi yang melibatkan polisi, entah di jalan-jalan atau lapangan bola. Selama masyarakat belum merasa aman saat bersama polisi, sepertinya slogan itu akan terus abadi.