Sejarah dan Penyebab Masyarakat Eropa Mayoritas Berkulit Putih, Ternyata Dulu Berkulit Gelap
ERA.id - Masyarakat Eropa mayoritas berkulit putih. Apakah ini terjadi sejak awal ada manusia di benua tersebut? Selain itu, apa yang menjadi penyebab dari hal tersebut?
Pertama, kita gali dulu kondisi geografisnya. Letak geografis Benua Eropa ada di 36 derajat lintang utara (LU)-71 derajat LU dan 9 derajat bujur barat (BB)-66 derajat bujur timur (BT).
Benua yang punya julukan Benua Biru ini membujur dari barat ke timur sejauh 5.300 km dan melintang sejauh 3.950 km. Luasnya sekitar 10.900.000 km2.
Tumbuhan dan binatang di benua ini terpengaruh oleh keberadaan dan kegiatan manusia di sekitarnya yang memiliki aktivitas bercocok tanam sejak ribuan tahun. Dahulu, sekitar 80 hingga 90 persen wilayah Eropa merupakan hutan.
Hutan-hutan tersebut tersebar dari Laut Mediterania hingga Samudra Arktika. Namun, hampir setengah dari hutan tersebut telah hilang setelah kolonisasi selama berabad-abad.
Penyebab dan Sejarah Masyarakat Eropa Mayoritas Berkulit Putih
Pada zaman dahulu, orang yang ada di Eropa berkulit gelap. Sebelumnya, perubahan warna kulit orang Eropa disebut akibat paparan sinar matahari. Namun berdasarkan penelitian terbaru, seperti dikutip Era dari National Geographic Indonesia, perubahan warna kulit orang-orang Eropa purba dari hitam ke putih disebabkan oleh makanan.
Temuan tersebut juga membantah informasi yang menyebutkan bahwa kulit orang Eropa putih sejak 40.000 tahun lalu. Informasi terbaru itu menunjukkan bahwa perubahan warna kulit orang Eripa terjadi sekitar 7.000 tahun yang lalu.
Analisis genetik tersebut dilakukan terhadap DNA terekstraksi yang berasal dari gigi dan kerangka manusia purba (laki-laki) yang disebut La Brana 1 yang hidup sekitar 7.000 tahun lalu. Kerangka tersebut ditemukan pada 2006 di gua di Pegunungan Cantabrian, Spanyol. Temuan tersebut diterbitkan oleh jurnal Nature.
Dahulu para ilmuan beranggapan bahwa perubahan warna kulit orang Eropa dari nenek moyang mereka, Afrika, terjadi sekitar 40.000 tahun yang lalu. Hal tersebut disebut terjadi saat nenek moyang dari Afrika mulai pindah ke daerah utara yang paparan sinar mataharinya sedikit.
Kulit yang lebih ringan membuat manusia Eropa kuno lebih mudah untuk menyerap sinar ultraviolet. Ini menjadi upaya adaptasi agar kadar vitamin D terjaga saat berada di tempat dengan paparan sinar matahari yang sedikit.
Hal tersebut ternyata terbantahkan oleh bukti terbaru dari tes DNA yang menunjukkan bahwa manusia Eropa masih berkulit gelap hingga 7.000 tahun yang lalu. Perpindahan manusia dari daerah yang banyak mendapat paparan sinar matahari ke daerah yang lebih tinggi tidak menjadi tolok ukur utama perubahan warna kulit manusia Eropa.
Para peneliti kemudian sepakat bahwa perubahan warna kulit dari hitam ke putih yang dialami oleh manusia Eropa disebabkan oleh makanan yang mereka produksi dan makan.
Analisis tersebut merupakan yang pertama dilakukan terhadap genom hunter-gather dari zaman Mesolitikum—masa yang berlangsung antara 10.000 hingga 5.000 tahun yang lalu.
Zaman Mesolitikum merupakan masa ketika manusia purba mulai mengalami evolusi terkait pemenuhan kebuhan hidup, yaitu dari berburu dan meramu ke kegiatan bertani dan bercocok tanam. Hal tersebut memungkinkan manusia purba di Eropa melakukan perubahan makanan, yaitu menjadi lebih banyak mengonsumsi biji-bijian, bukan lagi daging binatang seperti sebelumnya.
Menurut Carles Lalueza-Fox, pakar palegonomik di Pompeu Fabra University, Spanyol, biji-bijian berkaitan dengan warna kulit. Dilansir LiveScience, dia mengatakan, berdasarkan teori pertanian, terlalu banyak sereal mengurangi kandungan vitamin D sehingga manusia Eropa lama lebih cepat kehilangan pigmennya. Itulah sebabnya saat ini masyarakat Eropa mayoritas berkulit putih, tidak hitam seperti nenek moyangnya yang berasal dari Afrika.