Kapan Eksekusi Mati Jilid IV Digelar?
Sepanjang 2015-2018, Kejaksaan Agung RI sudah melaksanakan eksekusi terhadap 18 terpidana mati yang terbagi dalam tiga tahap atau jilid. Jilid satu, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran (WN Australia anggota Bali Nine), Raheem Agbaje Salami, Sylvester Obiekwe Nwolise, Okwudili Oyatanze (WN Nigeria), Martin Anderson (Ghana), Rodrigo Galarte (Brasil) dan Zainal Abidin (Indonesia).
Jilid dua, sebanyak enam terpidana mati, yakni, Ang Kiem Soei (WN Belanda), Marco Archer (Brasil), Daniel Enemuo (Nigeria), Namaona Denis (Malawi), Rani Andriani (Indonesia) dan Tran Bich Hanh (Vietnam). Kesemuanya kasus narkoba. Jilid tiga, sebanyak empat terpidana mati, Freddy Budiman (WN Indonesia), Seck Osmane (Nigeria), Humprey Jefferson Ejike (Nigeria) dan Michael Titus Igweh (Nigeria).
Pakar hukum pidana dari Universitas Bung Karno Azmi Syahputra bilang, otoritas berwenang harus segera melaksanakan eksekusi mati jilid IV. Sebab, belum terlaksananya eksekusi mati semakin membuktikan pokok permasalahannya.
(Infografis/era.id)
"Jadi, tidak ada alasan apapun lagi, seharusnya segera dilaksanakan hukuman mati," kata Azmi kepada Antara di Jakarta, Jumat (3/8/2018).
Jadi, kata dia, ternyata inti masalah terletak pada orang-orang atau lembaga pelaksana hukuman mati. "Atau, diduga hanya memanfaatkan kebaikan regulasi jika RKUHP disahkan," ujarnya.
Karena dalam RKUHP hukuman mati dapat diubah dengan menunggu 10 tahun. Bagi mereka yang berkelakuan baik selama 10 tahun, hukuman mati dapat diubah dengan hukuman penjara maksimal.
Sementara itu, Indonesia Police Watch (IPW) menganggap Jaksa Agung RI lamban melakukan eksekusi mati jilid IV terhadap terpidana narkoba. Padahal Indonesia sudah darurat narkoba, namun masih belum bersikap tegas.
"Lambannya eksekusi mati yang dilakukan Jaksa Agung terhadap para bandar narkoba yang sudah divonis mati menunjukkan buruknya sistem pemberantasan narkoba di negeri ini," kata Ketua Presidium IPW Neta S Pane kepada Antara di Jakarta.
(Infografis/era.id)
Neta menambahkan, aksi para bandar narkoba semakin menggila tatkala oknum aparatur negeri ini terlalu gampang disuap. Akibatnya, para bandar yang sudah divonis mati tetap saja nekat menjalankan bisnis narkobanya dari LP.
Terbukti Badan Narkotika Nasional (BNN) bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) narkotika yang melibatkan jaringan lembaga pemasyarakatan (lapas) dengan total nilai aset mencapai Rp24 miliar.
"Ini menunjukkan betapa tidak pedulinya para bandar narkoba terhadap sistem hukum di negeri ini yang notabene sistem hukumnya tidak bisa menimbulkan efek jera," katanya.