Mengurai Benang Kusut Kasus Pemerkosaan di Kemenkop UKM

ERA.id - Seorang pegawai honorer di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) diperkosa ramai-ramai oleh empat orang rekan kerjanya. Peristiwa keji ini terjadi saat Rapat Di Luar Kantor (RDL) pada 6 Desember 2019.

Pelaku yang berinisial ZP, WH, MF, dan NN memperkosa korban di sebuah kamar hotel sehabis mencekokinya dengan minuman keras. Dalam dialog online yang diadakan Aktual Forum, Rabu (19/10/2022), kakak korban, Radit menyampaikan bagaimana adiknya bisa berakhir diperkosa. 

Awalnya, pada Kamis malam (5/12/2019) korban didatangi oleh tujuh orang teman satu timnya. Mereka mengajak korban untuk makan di luar. Sehabis makan, korban diajak menuju salah satu bar dan dicekoki minuman keras hingga mabuk. Menjelang subuh mereka keluar dari bar, dan korban dipapah menuju kamar hotel yang kosong.

Satu orang segera pergi, dua orang yang lain menjaga pintu kamar di luar, dan empat orang sisanya (ZP, WH, MF, dan NN) memperkosa korban dalam kamar. "Korban terintimidasi juga di kantor, dapat tekanan dari teman-temannya. Akhirnya lapor ke Polresta Bogor Kota," ucap Radit.

Setelah tiga tahun berlalu, keluarga korban kembali menuntut keadilan baik dari pihak Kemenkop UKM maupun kepolisian. Karena sebelumnya polisi menghentikan penyidikan, dan Kemenkop UKM tidak tegas memberikan sanksi. Beberapa pelaku masih berkeliaran di Kemenkop UKM hingga hari ini, sedangkan kondisi korban tak bisa pulih seperti semula. 

Upaya pelaku lolos dari jeratan hukum

Sekretaris Kemenkop UKM, Arif Rahman Hakim menjelaskan bahwa biro umum telah menerima laporan korban sejak 20 Desember 2019. “Tanggal 20 Desember juga sudah dilakukan pendampingan dilaporkan ke Polres,” kata Arif dalam konferensi pers di kantor Kemenkop UKM, Senin (24/1/2022).

Polresta Bogor Kota lalu melakukan penyidikan sejak 1 Januari 2020, dilanjutkan dengan penahanan keempat pelaku pada 13 Februari 2020. Namun, mereka semua hanya ditahan selama 21 hari.

Kakak korban, Radit menyampaikan bahwa setelah penahanan, keluarga pelaku datang ke rumah menemui ayah dan ibu korban. “Empat orang ini keluarganya datang ke rumah untuk meminta ayah dan ibu korban melepaskan pelaku tersebut,” kata Radit. “Polresta Bogor juga mendesak keluarga untuk menikahkan seorang pelaku yang masih single.”

Setelah pernikahan antara korban dan pelaku berlangsung, para tersangka segera dibebaskan, dan penyidikan dihentikan. Padahal, menurut Radit, keluarga korban tidak pernah mencabut laporannya dan tidak mengetahui adanya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) dari kepolisian.

Polresta Bogor Kota sempat mengunggah komentar di akun twitter-nya, Senin (24/10), yang menjelaskan bahwa pertimbangan penghentian penyidikan adalah adanya pernikahan korban dengan pelaku. Komentar ini kemudian segera dihapus.

Keluarga korban merasa pernikahan tersebut hanya rekayasa agar para pelaku bisa bebas dari penjara. Selama menikah, korban hanya diberikan nafkah bulanan sebesar 300.000 rupiah selama 12 bulan. Pihak pelaku juga memutus komunikasi dengan korban setelah bebas dari tahanan. Hingga akhirnya pelaku menggugat cerai korban. “Senin (17/10/2022) kemarin korban digugat cerai dengan alasan ketidakharmonisan,” kata Radit.

“Ya kita menanyakan kabarnya sampai sekarang, nikahnya ini apa hanya pura-pura karena mereka untuk lolos dari tahanan? Sepertinya sih seperti itu,” lanjutnya.

Keterangan Kemenkop UKM yang menyudutkan korban

Dalam konferensi persnya, Kemenkop UKM melempar beberapa klaim yang tidak sesuai dengan keterangan keluarga korban. Pertama, Kemenkop UKM menyebutkan bahwa keluarga korban yang mengusulkan pernikahan antara pelaku dan korban, hingga akhirnya mereka sendiri yang mencabut laporan pada Maret 2020.

Hal ini jelas bertentangan dengan versi yang disampaikan oleh kakak korban, Radit. Koordinator Tim Advokasi dan Komunikasi Publik Kasus Korban Perkosaan di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (TAKON Kemenkop) Kustiah Hasim juga membantah klaim dari pihak Kemenkop UKM tersebut. 

“Keluarga korban ND mengaku ide pernikahan itu justru disampaikan pihak kepolisian bukan oleh mereka. Keluarga korban dan korban bahkan tidak tahu pernikahan ini akhirnya menjadi alasan penghentian dan penerbitan SP3,” katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (25/10/2022).

Kedua, Kemenkop UKM juga mengklaim korban mengajukan pengunduran diri, dan pihaknya membantu korban mendapatkan pekerjaan di kementerian lain. Dari sini narasi yang dibangun adalah Kemenkop UKM selalu berdiri di sisi korban.

Kustiah juga membantah hal tersebut. “Korban tidak pernah membuat surat (pengunduran diri) tersebut. Perusahaan tempat korban bekerja sekarang bahkan diminta dibuatkan slip gaji palsu korban untuk memuluskan skenario jahat pengunduran diri,” tuturnya.

Terakhir, Kemenkop UKM menyampaikan bahwa ada surat dari keluarga korban untuk meminta keringanan sanksi bagi pelaku. Lagi-lagi hal ini dibantah keluarga korban. “Kakak korban menjelaskan ayah korban tidak membuat surat (permintaan keringanan pengenaan sanksi) ke Sesmen. Jadi sejumlah pernyataan ini membantah klaim yang disampaikan pihak Kemenkop UKM," ucap Kustiah.

Tuntutan pihak keluarga korban

Stafsus Kemenkop UKM Riza Damanik mengutip pernyataan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki dalam konferensi pers, “Kita tidak ingin menutup-nutupi kasus ini, kasus ini harus dibuka seterang-terangnya, diselesaikan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.”

Namun, Kemenkop UKM sendiri baru membentuk tim independen setelah keluarga korban membuka kembali kasus pemerkosaan ini dan melaporkannya ke Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) dan Ombudsman.

Tim independen ini terdiri dari internal Kemenkop UKM, pendamping hukum, aktivis, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA). Adapun tugas pertamanya adalah untuk mencari fakta dan memberikan rekomendasi penyelesaian kasus, maksimal dalam waktu satu bulan. Kedua, merumuskan SOP pencegahan dan penanganan tindak pidana kekerasan seksual di Kemenkop UKM.

Dalam konferensi pers tersebut, Asnifriyanti Damanik dari tim pendamping keluarga korban menyampaikan tuntutan agar proses hukum dilanjutkan di kepolisian. Keluarga korban juga menuntut Kemenkop UKM untuk meninjau ulang sanksi bagi pelaku, memberikan perlindungan kepada korban, dan memulihkan hak-haknya.

“Dari korban menginginkan pemecatan, sama dengan dua pelaku sebelumnya,” ucap Asnifriyanti.

Hingga saat ini, dua orang pelaku ZP dan WH masih bekerja di Kemenkop UKM, dan hanya disanksi dengan penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama satu tahun, dari kelas jabatan 7 (analis) menjadi kelas jabatan 3 (pengemudi).