Dear DPR, Harus Tunggu Berapa Korban Lagi, Baru Sahkan RUU Perlindungan PRT?
ERA.id - Pasangan suami istri di Bandung Barat menyekap dan menyiksa pekerja rumah tangga mereka selama tiga bulan. Korban bernama Rohimah akhirnya diselamatkan oleh warga setempat, Minggu (30/10).
Dalam tayangan video yang beredar, beberapa warga dan petugas keamanan berkumpul di depan rumah pasutri itu, dan tampak seorang warga menjebol pintu yang terkunci. Rohimah keluar dari balik pintu dengan wajah penuh lebam.
Satreskrim Polres Cimahi telah mengamankan dua pelaku dengan inisial YK dan LF yang berusia 29 tahun.
“Tersangka diamankan terhadap perbuatannya yaitu melakukan penganiayaan terhadap ART atau asisten rumah tangga,” kata Wakapolres Cimahi Kompol Niko N. Adiputra, dalam konferensi pers di Mapolres Cimahi, Senin (31/10).
Dari hasil penyelidikan, korban mengaku tak hanya disiksa dengan tangan kosong, tetapi juga dengan perabotan rumah tangga. Ia baru saja bekerja selama lima bulan, dan sejak Agustus mulai mengalami penyiksaan.
Selain disiksa, ponsel milik perempuan asal Garut itu juga disita kedua pelaku dan ia dilarang menghubungi siapa pun.
Pada mulanya, Rohimah mengambil pekerjaan itu karena kesulitan ekonomi pasca ditinggal suaminya. Ia dijanjikan akan digaji Rp2 juta tiap bulan. Namun, ia hanya dibayar Rp1,2 juta di bulan pertama, kemudian Rp1 juta di bulan kedua, dan Rp800 ribu di bulan ketiga. Selanjutnya ia belum menerima gaji lagi.
Tak seperti profesi lain yang dilindungi payung hukum untuk meminimalisir kerugian dan melindungi masing-masing pihak, PRT seperti Rohimah sangat rentan menjadi korban penindasan dari majikan.
Di tengah kerentanan yang membayangi PRT, DPR masih saja belum mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang sudah diusulkan sejak 2004.
Kekerasan kepada PRT yang terus terulang
Kasus Rohimah bukan yang pertama dan satu-satunya, sepanjang 2015-2022, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat ada 3.255 kasus kekerasan yang dialami oleh PRT di Indonesia. Angka yang fantastis bukan?
Sebelumnya, masih di bulan Oktober, perempuan asal Cianjur bernama Riski yang terpaksa menjadi PRT pada usia 18 tahun juga mengalami penyiksaan berat. Riski lalu mengadu ke Kantor Staf Presiden (KSP) pada hari Selasa (25/10) dengan muka yang masih bengkak dan harus duduk di kursi roda.
Selama enam bulan mengadu nasib di ibu kota, Riski mengaku mengalami berbagai jenis siksaan dari majikannya, mulai dari dipukul, disiram air cabai, hingga terakhir ia ditelanjangi dan difoto dengan ancaman foto bugilnya akan disebar jika sampai berani melapor.
“Enam bulan kerja, saya hanya bisa bawa pulang uang dua juta tujuh ratus saja Bapak,” ucap Riski lirih kepada Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Kepala Riski masih sering terasa sakit. Bentuk kupingnya berubah karena terlalu sering dianiaya. Kini, daun telinganya membengkak seperti pegulat-pegulat UFC.
Moeldoko menyampaikan rasa prihatinnya dan menegaskan peristiwa yang dialami Riski akan mendorong percepatan penyelesaian RUU PPRT.
“Saat ini Kantor Staf Presiden bersama stakeholder menyusun RUU PPRT. Dan apa yang dialami oleh ananda Riski ini, akan menjadi endorsement yang kuat untuk semakin semangat menyelesaikan RUU PPRT, supaya tidak ada korban lain,” ucapnya.
Belum selang seminggu sejak Moeldoko menyampaikan hal itu, Rohimah ditemukan disekap dalam rumah majikannya dalam keadaan mengenaskan.
Sudah 18 tahun berselang sejak RUU PPRT diusulkan di DPR, berbagai pihak sudah mendesak agar aturan ini segera disahkan, tetapi DPR tampak masih bergeming setelah sekian lamanya.
Jalan panjang memperjuangkan keadilan bagi PRT
PRT merupakan salah satu profesi dengan jumlah tenaga kerja terbesar di Indonesia. Menurut data dari ILO Jakarta pada 2015, jumlah PRT di Indonesia mencapai 4,2 juta, dan 84% di antaranya perempuan.
Namun, profesi ini sering kali dianggap rendah dan selalu dipinggirkan. Hal ini terbukti dari lamanya pembahasan RUU PPRT yang mangkrak di DPR.
Friedrich Engels pernah menulis dalam bukunya Kondisi Kelas Pekerja Inggris, bahwa sikap kebanyakan orang kepada kelas pekerja adalah acuh tak acuh, antara egoisme di satu sisi dan penderitaan anonim di sisi lain.
Dalam hal ini, DPR mengambil sikap yang sama kepada PRT, yaitu acuh tak acuh. Mereka tampak lebih mengedepankan ego majikan di satu sisi, dan melupakan penderitaan PRT di sisi lain.
Hingga saat ini, Indonesia belum punya undang-undang yang mengatur mengenai pekerja domestik atau sektor rumah tangga.
Pada tahun 2015, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mengeluarkan Permenaker No 2 Tahun 2015 tentang Pekerja Rumah Tangga.
Hanya saja, permenaker tersebut tidak memerinci hak-hak PRT sebagaimana pekerja lain, seperti standarisasi upah, pengaturan jam kerja, waktu istirahat, cuti, hingga hak berserikat.
18 tahun silam, PDI Perjuangan mengajukan RUU PPRT di masa kepemimpinan Megawati. PDI Perjuangan kembali mendorong RUU ini agar disahkan pada 2009, tetapi Demokrat sebagai partai penguasa saat itu menolak.
RUU PPRT masuk ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) pada 2019. Ironisnya, Golkar bersama PDI Perjuangan yang pertama kali mengusulkan RUU tersebut justru menolak untuk segera disahkan, dengan alasan tidak mempertimbangkan sosio-kultural masyarakat. Sementara Demokrat berbalik arah mendukung pengesahan RUU PPRT.
Wakil Ketua Komisi IX DPR, Nihayatul Wafiroh menyatakan bahwa pembahasan RUU PPRT masih mandek di Badan Legislasi (Baleg). “RUU itu dibahas atau tidak tergantung Badan Legislasi,” katanya pada Selasa (1/11).
Sementara itu, Wakil Ketua Baleg DPR, Willy Aditya mengatakan bahwa pembahasan RUU PPRT di Baleg sudah selesai dan final, tinggal dibahas dalam rapat paripurna. "Penyusunannya sudah selesai di Baleg, dan sudah disepakati, tinggal diparipurnakan sebagai hak inisiatif DPR, dikirim ke pemerintah," ujar Willy, Selasa (1/11).
Ia menambahkan bahwa mereka masih menunggu keputusan pimpinan DPR. Menurutnya, seharusnya para pimpinan tidak perlu khawatir tidak mendapat dukungan. "Toh pemerintah hari ini sudah buat gugus tugas. Nah, harusnya pimpinan DPR cukup arif dan bijaksana melihat kode keras dari pemerintah seperti itu," ujar Willy. "Harusnya itu tinggal diparipurnakan saja."
Sebelumnya, sudah banyak pihak yang mendesak percepatan pengesahan RUU PPRT, salah satunya adalah Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Setelah menerima kunjungan Koalisi Sipil untuk UU PPRT, Juru Bicara Wapres Masduki Baidlowi menyampaikan bahwa Wapres mendorong percepatan RUU PPRT tersebut sebagai bentuk perlindungan hukum yang kuat bagi para pekerja.
“Wapres secara substansi menyetujui, artinya kalau ada yang menyoal bahwa RUU itu akan menabrak nilai kegotongroyongan dan kekeluargaan, menurut Wapres justru dengan Undang-undang ini nilai-nilai tersebut diperkuat,” ujar Masduki, Rabu (31/08).
RUU PPRT bukan hanya ditunggu oleh Rohimah dan Riski, tapi juga seluruh PRT lain yang tersebar di rumah majikan masing-masing. Tiga kali presiden berganti, belasan tahun berlalu, PRT di Indonesia masih terus menunggu pekerjaan mereka diakui negara, dan kehidupan mereka dilindungi. Pertanyaannya, mau sampai kapan?