Pelaku Pelecehan Seksual Haruskah Dihakimi Massa?
ERA.id - Ratusan tahun lalu, filsuf Inggris Thomas Hobbes mengungkapkan dalam bukunya Leviathan bahwa 'manusia adalah serigala bagi yang lain'. Baginya, tanpa ada hukum yang mengatur manusia, mereka secara alami akan bertindak sewenang-wenang untuk memuaskan egonya.
Hari ini, kita masih bisa buktikan pernyataan Hobbes dari berbagai penghakiman massa kepada mereka yang diduga bersalah. Teranyar, terduga pelaku pelecehan seksual di Universitas Gunadarma ditelanjangi, diikat ke pohon, dan dicekoki air kencing oleh para mahasiswa. Kombo maut yang membuat siapa pun bergidik ngeri.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Ir. Nizam mengonfirmasi kejadian tersebut. "Oleh pimpinan perguruan tinggi (PT) sudah diambil tindakan. Baik pelaku kekerasan seksual maupun pelaku main hakim sendiri sedang diproses oleh pimpinan PT untuk diambil tindakan pembinaan sesuai dengan kesalahannya," ujarnya pada Rabu (14/12).
Kita harus sepakat dulu bahwa tidak ada pembenaran untuk pelecehan dan kekerasan seksual. Namun, Indonesia sebagai negara hukum juga tidak membenarkan eksekusi publik tanpa pengadilan. Pada 9 Mei lalu, Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sudah diketok palu dan menjadi pegangan ketika terjadi kasus kekerasan seksual.
Mengapa kita tidak boleh langsung 'menghabisi' terduga pelaku pelecehan di tempat? Karena siapa pun tidak bisa diputuskan bersalah secara hukum kecuali lewat putusan pengadilan. Menghabisi mereka sama dengan kita menghukum seseorang yang mungkin bersalah, mungkin juga tidak.
Berpihak kepada korban kekerasan seksual sering kali disalahartikan dengan menghakimi terduga pelaku dengan membabi buta. Padahal, yang bertugas menguji kebenaran adalah hakim, bukan kita. Sementara di internet orang-orang bisa menjelma jadi pengacara hingga jaksa.
Berpihak kepada korban artinya ikut berempati, menanggapi dengan serius aduan mereka, tidak menyudutkan atau menyangkal pengalaman yang mereka alami, mengarahkan mereka kepada pendamping hukum yang mumpuni, dan mendorong penegak hukum untuk memproses kasusnya. Sisanya biar hukum yang bekerja.
Aktivis perempuan dan pendamping korban kekerasan seksual, Maryam Jameelah bercerita kepada kami bahwa menindak pelaku kekerasan seksual dengan dilecehkan depan publik bukanlah cara yang tepat dan patut. "Itu juga merendahkan martabat," ujarnya, Selasa (13/12).
Sepanjang pengalamannya, Maryam menuturkan bahwa langkah pertama yang dilakukan saat mendampingi korban kekerasan seksual adalah pendampingan psikis dan pemulihan. Karena, menurutnya, korban yang pulih tidak akan menuntut dendam ataupun hukuman yang bersifat menghancurkan pelaku.
"Kasus Gunadarma kemarin itu kan dampak ketika korban yang belum pulih dipaksa untuk melanjutkan proses litigasi ataupun non ligitasi, dan itu malah akhirnya memberikan efek destruktif, karena sama saja melawan kekerasan dengan kekerasan," jelasnya. "Dan itu tidak memberikan pendidikan dan pemulihan, baik untuk korban ataupun pelaku. Karena mestinya kita pakai transformative justice yang bisa memulihkan sifat destruktif dan abusifnya pelaku."
Budaya main hakim sendiri
Di Indonesia kita masih sering bersandar pada kekuatan massa dan sanksi sosial di luar pengadilan, hal-hal yang kalau boleh dibilang berakar dari budaya gosip masyarakat kita dan hilangnya kredibilitas penegak hukum. Sehingga tiap ada kasus dugaan kekerasan seksual, dengan sigap identitas terduga pelaku diumbar massa.
Sosilog dari UIN Jakarta, Dr. Tantan Hermansah berkomentar bahwa perilaku main hakim sendiri mesti dilihat lebih luas. "Tindakan itu dilakukan karena banyak orang sudah tidak percaya lagi kepada para penegak hukum dan bahkan sistem hukum di Indonesia," ujarnya saat dihubungi ERA, Rabu (14/12).
Hilangnya kepercayaan publik itu, menurutnya, ikut mendestruksi cara pandang masyarakat mengenai penegakan keadilan. "Tentu saja, dalam cara pandang apa pun, main hakim sendiri itu tidak boleh. Dilarang," tambahnya.
Main hakim sendiri oleh sejumlah mahasiswa Gunadarma kepada terduga pelaku pelecehan kemarin tidak boleh dibenarkan. Karena dengan logika yang sama, kita bisa saja memaklumi pembunuhan Brigadir J oleh Sambo dengan dalih telah melecehkan istrinya. Namun, bukankah selain pengacaranya, semua orang sepakat mengutuki Sambo?
Nyatanya, ada jarak yang tipis antara 'memberlakukan sanksi sosial' dan 'melahirkan kejahatan baru'. Jarak yang telah dilangkahi oleh mahasiswa Gunadarma yang ikut mempermalukan terduga pelaku pelecehan itu.
Menelanjangi seseorang depan umum, memamerkannya, dan memaksanya minum air kencing yang bau, sama dengan melakukan pelecehan baru. Jika kita membenarkan hal itu, maka sama saja kita membenarkan setiap pelecehan yang ada. Dan percayalah, itu tidak membuat kita lebih suci sama sekali.
Dahulu, seorang perempuan yang dituduh berzina dihadapkan kepada Yesus dan para imam Yahudi menuntutnya dirajam mati. Yesus pun berdiri dan berseru, "Siapa di antara kalian yang tidak berdosa, hendaklah yang pertama melemparkan batu kepadanya!"
Satu per satu mereka pergi, dari yang tua hingga yang muda, hanya menyisakan Yesus dan perempuan tadi berdua di sana. Andai kata kisah itu terulang kembali hari ini, mungkin orang-orang akan berebut melempar batu lebih dulu daripada memilih pulang ke rumah.