Pengacara Novanto Siapkan Jurus Terbaik
Jakarta, era.id - Setelah ditinggal Otto Hasibuan dan Fredrich Yunadi, kini Maqdir Ismail harus berjuang bersama Firman Wijaya dan belasan timnya untuk membela Setya Novanto yang menjadi tersangka kasus korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP. Sidang perdana terhadap Novanto rencananya digelar Rabu (13/12/2017) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Gunung Sahari, Jakarta Pusat.
Maqdir yang merupakan mantan pengacara Komjen Budi Gunawan menyayangkan Otto Hasibuan dan Fredrich Yunadi mengundurkan diri di saat bersamaan, beberapa hari sebelum sidang perdana Novanto digelar di Pengadilan Tipikor.
“Sangat disayangkan mereka mundur. Karena mereka sudah ikut dari awal,” ungkap Maqdir, Jumat (8/12/2017).Maqdir memang baru bergabung dalam tim kuasa hukum Novanto saat proses penyidikan Ketua Umum Partai Golkar itu selesai, sekitar sepekan yang lalu.
Namun, Maqdir tetap yakin dia dan timnya mampu membela Novanto di Pengadilan Tipikor.
“Saya dengan tim siap untuk memberikan pembelaan terbaik. Insya Allah kami siap. Kami akan berikan pembelaan yang baik sesuai hukum,” kata Maqdir.
Maqdir tidak menyampaikan perihal persiapan jelang sidang perdana Rabu lusa. Dia hanya menyatakan akan mendengar dakwaan dan menyiapkan eksepsi setelahnya.
“Dakwaannya hampir sama saja dengan dakwaan yang lalu, meskipun ada juga perbedaan karena ada tambahan nama yang disebut bersama-sama,” ujar Maqdir.
Novanto ditetapkan menjadi tersangka setelah KPK mengantongi sejumlah alat dan bukti hasil pemeriksaan sejumlah saksi terkait kasus korupsi e-KTP.
Selain itu, Andi Agustinus alias Andi Narogong yang telah dituntut hukuman pidana selama delapan tahun penjara dan menjadi justice collaborator untuk pengusutan kasus e-KTP juga membeberkan bukti keterlibatan Novanto dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Kamis (30/11) lalu.
Novanto yang kala itu menjabat menjadi Ketua Fraksi Partai Golkar diduga memuluskan jalan pembahasan anggaran proyek pengadaan e-KTP yang merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun dengan nilai total proyek Rp5,9 triliun.
Ketua Umum DPP Partai Golkar dan Ketua DPR RI itu diduga melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.